RMOL. Pengenaan biaya top up e-money kepada nasabah dipersoalkan. Pasalnya masyarakat sudah terlalu banyak dipungut biaya seiring dengan kebijakan Bank Indonesia terkait Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dan elektronifikasi jalan tol.
Pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen Agus Pambagio menilai negara sudah banyak mengutip kepada masyarakat. Namun di sisi lain pelayanan yang diberikan belum membaik.
"Jangan publik dikejar macam-macam pungutan. Sementara pelayanan negara tidak banyak membaik," ujar Agus Pambagio saat dihubungi, Selasa (19/9).
Lebih lanjut, Agus menilai, perbankan juga telah banyak memberikan potongan kepada masyarakat yang menguntungkan Dewan Direksi Bank itu sendiri. Hal ini jugalah yang menjadi pertanyaan terkait rencana Bank Indonesia mengeluarkan biaya isi ulang e-money. Padahal pemerintah sendiri yang ingin menggalakkan kebijakan nontunai di masyarakat.
"Jadi saya tidak setuju, adanya biaya top up (isi ulang e-money)," pungkasnya.
Sebelumnya Gubernur BI, Agus Martowardojo, menjelaskan bakal merilis aturan pengenaan biaya isi ulang untuk e-money dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia.
Menurut Agus Marto, pengenaan biaya isi ulang e-money bukan semata-mata untuk memberikan keuntungan kepada perbankan, namun untuk perlindungan konsumen dengan penyeragaman tarif. Nantinya biaya isi ulang tidak boleh melebihi dari Rp3 ribu untuk transaksi antar bank, sementara Rp2500 untuk transaksi sesama bank. Namun demikian angka tersebut masih dalam kajian.
"Kita akan atur top up sampai jumlah tertentu saja maksimal, misal Rp200 ribu rupiah," ujarnya dalam acara Indonesia Banking Expo di JCC, Jakarta, Selasa (19/9).
[zul]