Wacana pengenaan biaya isi ulang kartu uang elektronik (e-money) oleh Bank Indonesia terus menuai polemik. Masyarakat setuju penggunaan e-money, namun menolak jika harus dibebankan biaya sekitar Rp 1.500-2.000 per top-up atau isi ulang kartu.
Menurut Ekonom Institute for Economic Development and Finance (INDEF) Bhima YudhisÂtira Adhinegara, pengenaan biaya top up dinilai kontradiktif dengan kebijakan BI untuk melaksanaÂkan kampanye Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
"Pengenaan fee top up e-money merupakan hal yang kurang tepat untuk saat ini. Apalagi kebijakan tersebut bertepatan dengan elekÂtronifikasi pembiayaan jalan tol. Ini kontradiktif," tandasnya saat dihubungi Rakyat Merdeka.
Bhima menjelaskan, kontradikÂtif yang dimaksud adalah, di saat BI gencar mendorong lebih banyak penggunaan
e-money, namun Bank Sentral pula yang mengendurkan minat masyarakat karena adanya pungutan tiap henÂdak mengisi ulang
e-money. "Ini jelas disinsentif bagi nasabah
e-money, khususnya masyarakat pengguna jasa transÂportasi umum dan tol," ujarnya.
Menurut Bhima, bisnis
e-money sendiri sudah sangat menguntungÂkan bagi perbankan. Dia menyeÂbut, saat pelanggan membeli kartu
e-money di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan.
"Misalnya dari awal, kan masyarakat sudah bayar kartu
e-money. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai
fee based income bank," terangnya.
Di 2016 misalnya, nilai tranÂsaksi
e-money mencapai Rp 7 triliun. Lalu, jika diasumsikan
fee based income sebesar lima persen, maka bank penerbit
e-money sudah meraup untung Rp 350 miliar.
"Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut
top up fee, meskipun hanya Rp 1.000. Itu memberatkan konsumen. Model
e-money saat ini menguntungkan bank, bukan menguntungkan masyarakat. Konsep
e-money perlu dirombak total," tegasnya.
Di tempat terpisah, pengacara pelindungan konsumen David Maruhum Tobing mengaku teÂlah melaporkan Bank Indonesia ke Ombudsman Republik IndoÂnesia terkait rencana pungutan
top up tersebut.
David menduga, apa yang diÂlakukan BI merupakan tindakan maladministrasi yang mencerÂminkan keberpihakan pada pengusaha atau perbankan, serta pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
"Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadlilan dan diskriminasi bagi konsumen," kata David dalam keterangan yang diterima
Rakyat Merdeka. Ia menyebutkan beberapa bentuk keuntungan yang bisa diraup para pengusaha, yaitu terciptanya efisiensi pada pengelola jalan tol dan dana pihak ketiga (DPK) yang diperoleh bank bakal meningkat.
"Kedua, lembaga perbankan yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis karena uang elekÂtronik tidak berbunga," katanya.
Terakhir, kata David, BI seÂcara terang-terangan menduÂkung rencana pengelola jalan tol yang mewajibkan pembayaran non-tunai menggunakan kartu uang elektronik atau
e-toll. Tak berhenti di situ, David juga menyebut, kebijakan BI patut diduga melanggar hak konsumen melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas atau logam, dan patut diduga sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011.
Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas, bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran dan pelanggarannya diancam pidana paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
"Kebijakan BI tersebut meÂnyebabkan ketidakadilan bagi konsumen, berupa konsumen sudah dipaksa untuk tidak bayar tunai, uang elektronik mengendap di bank, dan uang elektronik tidak memperoleh bunga," tuturnya.
Selain itu, lanjut David, uang elektronik tidak dijamin LemÂbaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika kartu hilang, uang yang tersisa di kartu akan hilang dan konsumen seharusnya mendapat insentif dan bukan disinsentif dalam pelaksanaan program
cashless society. Dalam laporannya, David memohon kepada Ombudsman RI memberikan rekomendasi kepada BI untuk membatalkan rencana penerbitan kebijakan pengenaan biaya isi ulang kartu elektronik, dan melindungi hak konsumen melakukan pembayaran dengan menggunakan rupiah kertas atau logam dalam bertransaksi.
David menegaskan, jika kebiÂjakan BI tetap diberlakukan, ia akan melanjutkan langkahnya dengan mengajukan uji maÂteril terhadap PBI No. 18/40/ PBI/2016 tentang PenyelengÂgaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran yang berlaku sejak 9 November 2016 lalu.
Menanggapi hal ini, pihak BI belum ada yang bisa dimintai konfirmasinya. Namun sebelumnya terkait biaya dari pengisian ulang e-money, Kepala Departemen Komunikasi Bank IndoÂnesia Agusman Zainal mengatakan, pihaknya akan segera mengeluarkan peraturan isi ulang e-money.
Meski begitu, ia belum dapat memastikan kapan ketentuan tersebut akan keluar. "Tentang biaya
top up e-money sebaiknya tunggu ketentuannya keluar. Kita tunggu detail ketentuan saja," kata Agusman.
Seperti diketahui, BI, KemenÂterian BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) dan Kementerian PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat) telah menyusun strategi untuk mengembangkan elektronifikasi jalan tol melalui 4 tahapan.
Pertama, tahap elektronifikasi seluruh jalan tol pada Oktober 2017. Kedua, tahap integrasi sistem ruas jalan tol. Ketiga, tahap integrasi ruas jalan tol serta pemÂbentukan Konsorsium
Electronic Toll Collection (ETC). Keempat, penerapan
multo lane free flow (MLFF) di seluruh gerbang tol. Strategi ini telah diturunkan daÂlam bentuk action plan. ***