Berita

Jaya Suprana/Net

Jaya Suprana

OPINI JAYA SUPRANA

Kontroversi Nobel

MINGGU, 10 SEPTEMBER 2017 | 10:28 WIB | OLEH: JAYA SUPRANA

PENERIMA anugerah penghargaan Nobel termuda, Malaa Yousafzai berkicau lewat twitter yang sengaja tidak saya terjemahkan agar tidak kehilangan inti sukma yang sebenarnya sebagai berikut, "Every time I see the news, my heart breaks at the suffering of the Rohingya Muslims in Myanmar. I call for the following : Stop the violence. Today we have seen pctures of small children killed by Myanmar's security forces. He children attacked no one, but still their homes we burned to the ground.  If their home is not Mynmaar, where they lived for grenerations, then where is it? Rohingya people should be given citizenship in Myanmar, the country where they were born. Other countries, including my own country Pakistan, should follow Bangladesh's example and give food, shellter and access to education to the Rohingya families fleeing violence and terror. Over the last several years, I have repeatedly condemned this tragic and shameful treatment. I am still waiting for my fellow Nobel laureate Aung San Suu Kyi to do the same. The world is waiting and the Rohingya Muslims are waiting".

Petisi Terbuka

11 penerima Nobel lainnya, termasuk Desmond Tutu menandatangani sebuah surat petisi terbuka yang secara tegas menyalahkan sikap Aung San Suu Kyi dalam kasus tragedi Rohingya bahkan menuntut agar penghargaan Nobel untuk Aung San Suu Kyi dibatalkan.


Tuntutan pembatalan akibat sikap pemimpin Aung San Suu Kyi dianggap tidak berpihak ke masyarakat Rohingya dengan alasan bahwa masyarakat Rohingnya adalah para warga ilegal yang tidak berhak untuk bermukim di Myanmar maka wajar bahwa kaum Rohingya harus diusir ke luar dari bumi Myanmar.

Ilegal

Stigmasisasi ilegal terhadap kaum Rohingya mirip dengan stigmasisasi ilegal terhadap warga Bukit Duri, Kalijodo, Pasar Ikan, Kalibata, Luar Batang demi membenarkan kebijakan menggusur rakyat atas nama pembangunan.

Pada kenyataan, warga Bukit Duri dan para warga bantaran Kali Ciliwung sudah turun-menurun sejak masa sebelum Kota Jakarta masih disebut oleh kaum penjajah sebagai Batavia.

Sungguh ironis bahwa pemerintah DKI Jakarta masa kini didukung oleh masyarakat yang tidak tergusur, sampai begitu tega hati menstigmasisasi warga Indonesia yang sudah turun menurun bermukim di bumi Indonesia sebagai warga ilegal.

Sama ironisnya dengan pemerintah Myanmar masa kini didukung oleh Aung San Suu Kyi sebagai penerima Nobel, tega hati menstigmasisasi kaum Rohingya yang sudah turun menurun bermukim di kawasan Rakhine  sejak sebelum kedaulatan Myanmar masa kini, sebagai warga ilegal yang tidak berhak bermukim di persada Myanmar.

Kontroversial

Penghargaan Nobel memang senantiasa kontroversial selama komite Nobel memang tidak melepaskan diri dari kepentingan politik. Misalnya, Boris Pasternak dan Aleksandr Solzhenitsyn memperoleh Nobel bukan murni atas pertimbangan estetikal terhadap karya-karya tulis mereka namun juga lebih pada pertimbangan politikal.

Penghargaan Nobel bagi Bertrand Russel memperoleh tantangan keras dari mereka terutama gereja Inggeris yang tidak setuju atas pemikiran pemikir abad XX yang mengaku atheist itu. Sementara Jean Paul Sartre malah menolak anugerah Nobel bagi dirinya akibat mencium aroma politik kurang sedap di balik penghargaan yang dianggap paling bergengsi di planet bumi ini.

Nobel untuk Henry Kissinger dan Barack Obama juga sempat dihunjam protes keras berbagai pihak yang menganggap kedua beliau tidak layak memperoleh penghargaan.

Seorang anggota komite Nobel, Kaare Kristiansen meyakini Yasir Arafat adalah teroris maka mati-matian menentang anugerah Nobel bagi sang pemimpin Palestina yang dianugerahi Nobel bersama pemimpin Israel, Shimon Peres dan Yitzhak Rabin.

Kemanusiaan

Kini yang lebih penting adalah menjaga dan mencegah agar jangan sampai kontroversi Nobel mengaburkan inti permasalahan yang sebenarnya yaitu angkara murka genocida yang dilakukan terhadap kaum Rohingya di Myanmar.

Yang lebih penting dan perlu adalah bagaimana cara memperoleh kesepakatan bersama untuk menyelamatkan kaum Rohingya di Rakhine, Myanmar dari cengkeraman angkara murka pembinasaan manusia oleh sesama manusia yang jelas tidak layak dibenarkan sebab merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia serta Kemanusiaan Adil dan Beradab. [***]

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya