Mendengar laut sedang sekarat
kami menjenguknya silih berganti
berusaha mengulur pelipur lara
sesuai kesanggupan cinta
Laut adalah leluhur langit dan bumi
yang tak pernah mudah kami pahami
ia ada sebelum datuk buyut ada
berdiam di arasy pertama sang qidam
bermastautin sejak bahari sebelum
kami benar-benar bernama kami
Kami bezuk laut dengan kepala
tetap merunduk sambil berbisik
di sebalik tasik: senahas apa ia
bagaimana kami mesti berpada-pada
laut adalah nenek moyang semesta
pemilik semua rahasia kata-kata
yang kami hibur terbata-bata
nelayan menggenggam lembut
jemari laut dengan memagut
dayung sampan sendiri erat-erat
politisi membesarkan-besarkan hati
samudera melalui papan baliho:
halo, rakyat harus bangkit
hanya itu yang diinginkan laut
jangan pernah mau golput
Kami bersumpah takkan pernah
meninggalkan laut sendirian
umara ulama saudagar syahbandar
bersatu tanpa hirau ruang waktu
dari semah kajang sampai
istighasah di tanah lapang
semua larut ke maha-maujud
sujud sama-sama, lama-lama
sedemikian dalam hingga tak
sadar wajah mereka tertukar
umara jadi ulama, ulama jadi
saudagar, saudagar jumawa
memakai kostum syahbandar
Begitulah kami berikhtiar
memohon kesembuhannya
seraya bernazar senggugut
andai semua doa maqbul
kami hadiahkan tol bagi laut
negara merilis maklumat resmi:
laut itu saudara sehidup semati
lantas seorang menteri tampak
membakar kapal para perompak
agar dunia segera menyimak
laut telah menggerakkan kami
jadi lebih kuat kompak sebati
Tapi laut lebih purba dari adam
penjaga segala rahasia alam
mendengar laut ternyata tetap
sekarat, entah mengapa, kami
perlahan mulai sangat yakin
setiap kali menjenguknya
lautlah yang tak pernah bosan
menuntun kami bertalkin:
mengucap-ingatkan asma tuhan
ke telinga jiwa kami yang miskin
[***]2017
