Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama tim ahli independen dan POM TNI memeriksa setiap inci Helikopter Agusta Westland (AW-101) di Skadron Teknik 021 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Mayjen TNI Dodik Wijanarko menjelaskan, pemeriksaan badan pesawat beserta bagian dalam pesawat untuk memastikan spesifikasi yang ada sesuai dengan harga pembelian.
"Tugas kami hari ini melaksanakan proses penyidikan dan penyelidikan brkaitan dengan fisik oleh ahli bukan dari kami. Jadi ini dalam rangka melengkapi berkas supaya secara formal dan material terpenuhi," ujar Mayjen TNI Dodik kepad wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jaktim, Kamis (24/8).
Lebih lanjut, Dodik menjelaskan dalam serangkaian pemeriksaan fisik heli AW-101 ini, KPK maupun POM TNI terus berkoordinasi mengingat proses pengembangan kasus terus berjalan. Menurutnya pula, tidak menutup kemungkinan jika nantinya akan ada tersangka baru dari hasil penyelidikan KPK maupun POM TNI.
"Selama pemeriksaan berkembang ya (kemungkinan tersangka lain) pasti akan disampaikan. Kami juga tidak sembrono dalam menentukan (tersangka baru)." ujar Dodik.
Saat memeriksa detail sudut heli AW-101, mampak lima petugas KPK juga mengambil gambar baik di bagian bodi maupun dalam heli.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan bos PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka lantaran diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun anggaran 2016-2017.
Pada April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau proses lelang yang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang.
Irfan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang. Padahal, sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar.
Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar. Akibatnya, keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp 224 miliar.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[wid]