Matahari mulai tampak bersembunyi di ufuk barat. Sinarnya pun mulai meredup. Pertanda ia akan segera terbenam. Tapi, tidak dengan ribuan anak di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, Senin (7/8) malam.
Memasuki pergantian waktu dari siang ke malam, semangat anak-anak usia remaja itu justru semakin memancar dari raut muka mereka. Senyum sumringah juga mengiringi pancaran itu.
Ya, malam itu adalah malam pembukaan Ajang Kreativitas Seni dan Olahraga Madrasah (Aksioma) sekaligus Kompetisi Sains Madrasah (KSM) 2017.
Mereka begitu semangat menyambut pekan yang menegangkan. Sebab, mereka harus menunjukkan potensi terbaik untuk menjadi yang terbaik di antara anak-anak madrasah se-Indonesia.
Arah jarum jam tangan sudah menunjukkan pukul 20.00 Waktu Indonesia Barat. Master of Ceremony mulai membacakan satu persatu rentetan acara. Mulai dari pembukaan, pembacaan Ummul Kitab yang istimewa itu, dan pembacaan “Sumpah Aksioma†hingga munculnya 36 andong yang mewakili jumlah provinsi di tanah air tersebut.
Tapi, setelah acara berjalan sekitar 45 menit, sebuah tarian kolosal tiba-tiba menyentak dan menghipnotis lebih dari 3 ribu pasang mata. Di tribun, di panggung, maupun di lapangan. Mereka berduyun-duyun merapat ke arena untuk melihat langsung tarian mengagumkan yang disebut dengan tarian “I Love Madrasah†itu.
Tak sedikit para hadirin yang geleng-geleng kepala seakan tak percaya indahnya tarian yang diikuti 550 siswa Madrasah dari Yogyakarta, Bantul, dan Sleman itu. Tarian di bawah tangan Koreografer Didik Hadiprayitno, SST atau yang lebih dikenal sebagai Didik Nini Thowok itu pun sukses membius hadirin.
Mulanya, siswa yang terdiri dari siswa Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah itu itu dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berkumpul di ruang bagian barat Stadion. Sedangkan bagian kedua berkumpul di bagian timur.
Beberapa saat setelah tarian itu diumumkan, mereka langsung berdiri berjajar membentuk barisan. Sejurus kemudian, mereka langsung berlarian secara teratur menuju lapangan. Lalu, di tengah lapangan mereka membentuk formasi sembari menampilkan tarian dengan variasi yang berbeda-beda. Perbedaan variasi ini membuat tarian yang berlangsung sekitar 45 menit itu tampak lebih indah.
Tarian pun bervariasi. Ada yang cukup dengan menggerakkan tangan. Ada yang dengan melenggak-lenggokkan tubuh. Ada juga yang sembari menggerak-gerakkan tangan sambal setengah jongkok, dan ada yang duduk. Ada pula yang mengibarkan bendera dan sebagian juga ada mereka yang membentuk barisan terpisah, berbentuk formasi lingkaran.
Tak ayal, perpaduan-perpaduan ini membuat pemandangan tarian yang begitu memesona, menghipnotis mata yang memandang. Saat tengah asyik menari, tampak seorang penari berusia belasan tahun tiba-tiba memegang perutnya. Ia tampak sedang menahan rasa sakit, mengingat tarian itu cukup menguras energi.
Namun, beberapa saat setelah tarian selesai, dua penari yang masih duduk di bangku MTs itu mengaku baik-baik saja dan tak ada masalah dengan tarian itu.
"Enggak, nggak sakit, karena udah latihan," kata Aisyah, siswi MTs Negeri 6 Sleman.
Cerita Aisyah ini juga diamini temannya yang tengah duduk di sampingnya, Adinda.
Adinda yang juga satu madrasah dengan Aisyah menuturkan bahwa sebelum mereka tampil di panggung megah yang dihadiri Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifudin, budayawan Cak Nun, Kiai Kanjeng serta grup band Letto ini sudah menjalani latihan selama 15 kali. Hanya saja latihan tidak seluruhnya dilakukan secara bersamaan.
"Kami latihan 15 kali. 10 kali dulu dipisah. Baru 5 kalinya kami semua latihan bersama," kata Adinda.
Hal serupa juga diutarakan Iqbal dan Aditya, dua siswa MA Negeri 2 Sleman Yogyakarta. Keduanya menuturkan bahwa latihan untuk mempersiapkan tarian ini dilakukan secara sungguh-sungguh, sehingga bisa kompak dan berhasil.
"Kami senang, bisa berhasil. Kami bangga jadi anak madrasah," kata Iqbal penuh semangat.
*Tarian 'I Love Madrasah'*
Tarian kolosal ini diikuti 550 siswa dari sepuluh madrasah di tiga kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Jumlah itu dibagi menjadi dua bagian, yakni 500 siswa untuk penari kolosal di lapangan. Sedangkan 50 siswa lainnya bertugas di atas panggung menampilkan memorable sinopsis kisah Arjuna untuk mencintai Madrasah.
Pejabat Fungsional Umum Kesiswaan Kantor Wilayah Kementerian Agama RI Wilayah Yogyakarta yang juga salah satu panitia penyelenggara lokal dalam Aksioma-KSM 2017, Meiyana EW mengatakan, filosofi ‘I love Madrasah’ itu dibuat pada 2014 lalu, di mana Yogyakarta sebagai pemrakarsanya.
"Filosofi ini dibuat untuk menumbuhkan kecintaan kita terhadap madrasah," kata Meiyana saat dihubungi, Rabu (9/8).
Sebanyak 550 penari kolosal tersebut kata Meiyana, juga memiliki pakaian khusus, yaitu batik khas Yogyakarta. Batik itu juga sudah menjadi pakaian wajib bagi setiap siswa madrasah di bawah Kanwil Kemenag DIY.
"Batik ini sudah jadi warisan leluhur, dan selain itu DIY memang punya batik khas. Jadi semua siswa madrasah di DIY sekarang wajib pakai seragam batik, yakni khusus hari Kamis dan Jumat," jelasnya.
Meiyana juga mengakui bahwa tarian ‘I Love Madrasah’ itu tidak ujug-ujug langsung menghasilkan 550 penari yang piawai. Menurutnya, butuh waktu yang lama untuk mempersiapkan tarian kolosal tersebut.
"Kita siapkan dari Maret sampai dengan Agustus. Jadi 6 bulan. Awalnya tarian ini diambil dari 10 madrasah, lalu dikumpulkan di 6 lokasi. Setelah latihan sepuluh kali kemudian digabung semuanya," jelasnya.
Ia berharap bahwa dengan tarian kolosal ini, semua anak-anak bangsa tidak memandang sebelah mata madrasah.
"Harapan kita, semua semua anak Indonesia benar-benar mencintai madrasah, bahkan mulai sejak MI, MTs, hingga MA. Sehingga siswa membuktikan bahwa kita bangga sebagai siswa madrasah, sekaligus berprestasi sebagai siswa madrasah."
[wid]