Taman Nasional Tesso Nilo/Net
. Pemerintah diminta bertanggung jawab penuh atas carut marut pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Gurubesar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa menilai, secara hukum kewenangan TNTN berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kalaupun di dalam kawasan Tesso Nilo ada orang atau kelompok yang membakar dan merambah, itu masalah pelanggaran. Secara hukum, tanggung jawab atas kegagalan pengelolaan Tesso Nilo melekat pada KLHK," kata Yanto melalui siaran persnya, Senin malam (31/7).
Menurut Yanto, bentuk tanggung jawab hukum KLHK terkait kebakaran dan kelalaian pengamanan kawasan taman nasional, harusnya sama dengan tanggung jawab korporasi yang konsesinya terbakar.
Jika, KLHK menolak tanggung jawab, hal itu menjadi pertanyaan besar mengenai kemampuan, kualitas pengawasan dan kemampuan pemerintah. "Kalau sampai hutan Negara dibakar atau dirambah, yang ga benar pasti penjaga dong," urainya.
Karena itu, kata Yanto, pihak-pihak dirugikan bisa menggugat pemerintah secara perdata dan pidana. Khususnya, bagi masyarakat di sekitar kawasan Tesso Nilo yang terkena asap atau tanahnya dirambah.
"Sangat mungkin, menggugat pemerintah. KLHK jangan hanya bisa menjatuhkan sanksi bagi masyarakat atau korporasi saja begitu ada konsesi terbakar. Secara hukum, taman nasional menjadi tanggung jawab pemerintah," terang Yanto.
Yanto menambahkan, dalam konteks pengelolaan taman nasional, KLHK mempunyai program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Program itu berasal dari pemerintah pusat yang pengelolaannya diserahkan pada Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo.
"Itu sangat jelas. Artinya, TNTN menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu, sudah seharusnya, pemerintah hadir untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan dan tenurial disana. Bukan sebaliknya, malah ‘mengkambinghitamkan’ pihak lain seperti yang terjadi selama ini," sesal Yanto.
Yanto mengungkapkan, kegagalan pengelolaan Tesso Nilo juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas, dan keahlian mitra kolaboratif pemerintah yakni kelompok-kelompok lingkungan seperti WWF, Eyes on Forest, Jikalahari dan lainnya.
Kehadiran LSM untuk membantu perbaikan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan pastinya atas persetujuan dan dibawah koordinasi pemerintah. Oleh karena itu, keberadaan kelompok lingkungan dan LSM sosial perlu ditinjau kembali. Kehadiran mereka selama bertahun-tahun di TNTN tidak membuahkan hasil positif.
"Gejolak tidak pernah surut. Perlu ada evaluasi tugas dan kewenangan kelompok tersebut disana. Cari tau, apa saja yang mereka telah kerjakan untuk perbaikan lingkungan dan masyarakat serta hasilnya seperti apa. Kalau kinerja tidak memberi kontribusi apa-apa, buat apa mereka ada disana," kata Yanto.
Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengakui, kebakaran lahan yang menjadi persoalan reguler di Riau diduga sebagian di antaranya dilakukan dengan sengaja.
Menurut dia, pola terbakarnya lahan di Riau sudah terstruktur yaitu diduga karena adanya kesengajaan dibakar.
Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo Sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan No. 255/Menhut-II/2004.
Perubahan fungsi kawasan hutan produksi Terbatas menjadi TNTN yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Provinsi Riau mencakup luasan 38.576 ha.
Pada tanggal 15 Oktober 2009, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan Surat keputusan Nomor: SK.663/Menhut-II/2009 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan produksi terbatas kelompok hutan Tesso Nilo seluas 44.492 ha yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau menjadi Taman Nasional Sebagai Perluasan TNTN. kini, luas kawasan TNTN sekitar 83.068 ha.
TNTN dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang.
[rus]