Adanya peraturan baru dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu saat ini yang mencabut kekhususan Aceh patut disayangkan. Ketentuan itu terdapat dalam pasal 571 huruf D UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR RI pekan lalu.
Dalam Pasal 571 huruf D disebutkan bahwa pasal 57 dan pasal 60 ayat 1, ayat 2, serta ayat 4 UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pengamat politik Erlanda Juliansyah Putra menjelaskan, keseluruhan dalam pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggara pemilu di Aceh yakni Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Panwaslih Aceh yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu.
Menurutnya, pembentuk UU di sini sepertinya keliru memahami asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, sehingga bisa terjadi penggerusan terhadap pasal-pasal yang menjadi domain dari kekhususan Aceh.
"Aceh itu kan khusus, KIP itu hanya ada di Aceh. Walaupun secara esensi pekerjaannya merupakan bahagian yang tidak terpisahkan oleh KPU pusat. Namun itu adalah kekhususan Aceh dan itu hasil dari perdamaian Aceh, toh pembentuk undang-undang tinggal menghormati kekhususannya saja kan bisa. Kan selama ini juga tidak inkonstitusional, jadi jangan asal cabut-cabut pasal seperti itu," jelas Erlanda.
Terlebih yang dipersoalkan dan dicabut itu terkait dengan jumlah komposisi komisioner KIP Aceh dan masa kerja anggota KIP Aceh dan Panwaslih Aceh, dan itu tidaklah terlalu esensial dari penyelenggaraan pemilu di Aceh. Kalau mau diperbaiki demi penyempurnaan pemilu ke depannya mekanisme pemilihan komisioner penyelenggara pemilu di DPRA itu lebih esensial untuk ditinjau ulang kembali. Apakah itu sudah tepat atau tidak, karena itu terkait netralitas penyelenggara ke depannya. Namun ingat tetap harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke DPRA untuk mendapatkan pertimbangannya.
"Di dalam UUPA itu sudah sangat jelas mengatur bahwa terkait dengan kekhususan Aceh itu DPR seharusnya berkonsultasi dan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh terlebih dahulu sebelum kemudian merumuskan peraturan yang berkaitan dengan Aceh kedalam suatu rancangan undang-undang," beber Erlanda.
Lihat saja pasal 8 ayat 2 dan pasal 269 UUPA sudah mengatur tentang konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA terhadap RUU yang berkaitan dengan Aceh.
"Jadi, DPR seharusnya jangan asal main cabut dan menyatakan tidak berlaku seperti itu. Ada mekanisme konstitusional yang seharusnya dipahami oleh para pembentuk undang-undang bahwa Aceh adalah daerah yang bersifat istimewa dan khusus, dan negara harus menghormatinya. Karena itu, amanat konstitusi di dalam pasal 18 A ayat 1 dan Pasal 18 B ayat 1, jadi seharusnya pembentuk undang-undang bisa menyesuaikan terlebih dahulu dan mengkonsultasikan dengan pemerintah Aceh dan DPRA," jelas Erlanda.
Erlanda menambahkan, sesungguhnya kejelian pembentuk undang-undang sedang diuji, sebelum undang-undang itu disetujui melalui sidang paripurna. Jauh sebelum itukan bisa dilakukan legislatif review oleh pembentuk undang-undang untuk mengevaluasi RUU terlebih dahulu, apakah undang-undang ini telah memiliki sinkronisasi dan harmonisasi yang baik atau tidak. Dan bagaimana aspek filosofis dan historis pembentukan undang-undangnya.
"Jangan sampai nanti UU yang dihasilkan pembentuk undang-undang ini malah harus berpolemik terlebih setelah diberlakukan, dan berujung ke judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu itu tidak akan baik bagi penyempurnaan undang-undang itu sendiri secara kualitas," imbuhnya.
[wah]