Kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) lebih banyak khayalannya ketimbang kenyataan.
Begitu kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menanggapi penanganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi di proyek yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Fahri kemudian menjabarkan awal mula tercetusnya proyek ini. Kata dia, proyek e-KTP bermula pada tahun 2010 atau 7 tahun lalu ketika Kemendagri dan Komisi II DPR menyepakati modernisasi data kependudukan.
"Ini adalah ikhtiar yang luar biasa. Kita membangun negara modern dari inisiatif e-KTP ini. Sayangnya kemudian jadi kasus e-KTP," jelasnya dalam akun
Twitter @Fahrihamzah, Selasa (4/7).
"Lalu dana proyek EKTP ini masuk APBN 2011 setelah menurut tuduhan KPK ada bancakan uang Rp 2,3 triliun," sambung Fahri.
Fahri menyebut tuduhan KPK bahwa ada bancakan dalam proyek ini sebelum tender, tidak masuk akal. Terlebih total bancakan itu terbilang sangat besar, bahkan hampir separuh dari total nilai proyek tersebut.
Kata dia, uang yang disebut KPK digunakan untuk bancakan itu pasti bukan uang negara. Ini lantaran dugaan bancakan terjadi akhir tahun 2010 atau terjadi sebelum ada tender, apalagi pembayaran APBN.
"Maka uang siapakah itu? Andi Norogong? Uang dari mana dia? Berani betul dia habiskan untuk sesuatu yang belum pasti?," tanyanya.
"Atau uang ketua konsorsium yang kebetulan BUMN PT. PNRI? Tapi mustahil karena BUMN diaudit oleh BPK," sambungnya lagi.
Lebih aneh lagi, sambung Fahri, ada proyek berjalan meski 50 persen total uangnya sudah hilang duluan. Terlebih dalam kasus ini, proyek e-KTP sudah selesai.
"Tapi coba kita pakai logika KPK. Besar proyek Rp 4,7 triliun. Bancakan di awal Rp 2,3 triliun. Sisa Rp 2,4 triliun. Dari sisa Rp 2,4 triliun berapa yang dibelanja? Proyek Rp 4,7 triliun berapa sih untungnya? Katanya kerugian negara Rp 2,3 triliun lebih?," tanya Fahri.
"Jadi proyeknya untungnya berapa? Kok proyek bisa selesai? Selesai pakai uang siapa? Ajaib bukan?," tanyanya lagi.
Lebih lanjut, Fahri menyindir KPK yang gagal menemukan anggota DPR yang dinilai telah melakukan bancakan tersebut.
"Siapa mereka? Masak uang Rp 2,3 triliun nggak ketemu? Rp 10 juta aja kena OTT," pungkasnya.
[ian]