DI masa usia senja makin mendekati saat akhir hidup, saya berupaya memanfaatkan masa sisa hidup untuk mempelajari apa yang disebut sebagai kemanusiaan. Dari proses pembelajaran tersebut saya memperoleh kesadaran bahwa mahakarya peradaban dan kebudayaan umat manusia yang terluhur sebenarnya bukanlah para bangunan monumental kasat mata seperti Piramida Mesir dan Meksiko, Tembok Besar China, Candi Borobudur Indonesia, Taj Mahal India, Menara Eifel Perancis, Sydney Opera House Australia, namun apa yang disebut sebagai kemanusiaan. Secara pribadi, saya beruntung sempat berjumpa para mahaguru sebagai narasumber ilham pembelajaran kemanusiaan.
Ojo Dumeh
Mahaguru kemanusiaan saya yang pertama adalah kedua orang tua saya, Lily Puspa dan Lambang Suprana. Ibunda Lily Puspa dengan penuh kasih sayang telah mendidik dan menumbuh-kembangkan lahir batin saya untuk senantiasa berupaya menghargai dan menghormati sesama manusia, termasuk bahkan jutsru terutama mereka yang disebut sebagai kaum miskin.
Ayahanda Lambang Suprana mewariskan falsafah Ojo Dumeh agar saya senantiasa menjaga diri agar jangan terjerumus ke sikap sombong, arogan, terkebur sehingga merendahkan, menghina terhadap sesama manusia, terutama kaum wong cilik miskin dan papa.
Kemudian mahaguru saya yang lain yaitu Gus Dur mewariskan pesan wejangan agar saya selalu berpihak kepada kaum tertindas tanpa pandang latar belakang ras, suku, etnis, sosial, budaya, ekonomi, agama atau apa pun. Kemudian ketika saya berkunjung ke markas besar Buddha Tzu Chi di Hua Lien, Taiwan, saya memperoleh inspirasi kemanusiaan dari Master Cheng Yen antara lain bahwa saya wajib selalu berterima kasih kepada mereka yang berkenan menerima bantuan sebab mereka memberi kesempatan bagi saya untuk berkarya kemanusiaan.
Sebenarnya saya juga memperoleh inspirasi mengenai mahakarya kemanusiaan dari Dr. Albert Schweitzer, Ibunda Theresa dan Sri Paus Fransiskus meski saya tidak sempat jumpa Dr. Albert Ibunda Theresa sebab kedua beliau sudah meninggalkan dunia fana ini. Juga saya belum sempat jumpa Sri Paus Fransiskus sampai saat saya menulis naskah ini.
SandiawanMahaguru kemanusiaan saya terkini adalah pejuang kemanusiaan dari Jeneponto, Sandiawan Sumardi. Beliau mengajarkan kemanusiaan kepada saya bukan dengan kata-kata namun dengan sikap dan perilaku nyata yang telah terbukti dipersembahkan kepada kaum miskin, papa, tertindas dan tergusur sejak dasawarsa terakhir abad XX.
Jika Aung San Syu Ki yang terbukti tidak berpihak ke kaum Rohingya tertindas di Myanmar atau Barack Obama yang terbukti tidak berhasil menghentikan angkara murka penumpahan darah Amerika Serikat di Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, terbukti memperoleh anugerah Nobel, maka sebenarnya kegigihan dan ketulusan pengabdian bagi kemanusiaan Sandiawan Sumardi juga layak memperoleh anugerah Nobel. Hanya saja, bagi kepentingan politis panitia penyelenggara anugerah Nobel, memang Sandiawan Sumardi memiliki bobot nilai public relations dan geopolitis jauh lebih rendah ketimbang Aung San Syu Ki dan Barack Obama.
Naskah
Saya sama sekali tidak memiliki kedigdayaan kemauan dan kemampuan kemanusiaan seperti Sandyawan Sumardi, Sri Palupi, almarhum Romo Mangunwijaya serta para pejuang kemanusiaan lainnya. Sedikit kemampuan yang saya miliki cuma menulis. Maka saya hanya mampu menulis tentang kemanusiaan dari apa yang saya lihat dan dengar di Kampung Pulo, Luar Batang, Pasar Ikan Akuarium, Kalijodo, Bukit Duri, Sukomulyo, Tangerang, Kendeng, Lampung, Papua dan lain sebagainya.
Saya berterima kasih kepada
Kantor Berita Politik RMOL yang setiap hari tanpa jemu berkenan mempublikasikan naskah-naskah sederhana saya tentang kemanusiaan. Saya juga berterima kasih kepada penerbit Elex Media Komputindo yang sedang mempersiapkan penerbitan buku saya selanjutnya berjudul “Naskah-Naskah Kemanusiaan“ sebagai antologi naskah-naskah saya tentang kemanusiaan sejak April sampai dengan Desember 2016. Untuk menampung butir-butir pembelajaran mengenai kemanusiaan, saya mendirikan Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.
[***]Penulis adalah pembelajar makna kasih sayang yang terkandung di dalam kemanusiaan