Berita

Derek Manangka/net

CATATAN TENGAH

Jokowi & JK Pamer Kompak Di "Injury Time"

SENIN, 26 JUNI 2017 | 10:59 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

ADA perasaan malu dan kecewa, seusai bersalaman dengan Presiden Joko Widodo di acara “Open House” Minggu kemarin. Sebab ternyata, bekas Walikota Solo ini, sudah tidak ingat pada saya sama sekali.

Sementara selama ini saya merasa bahkan mengklaim secara sepihak bahwa bekas Walikota Solo ini, tak akan mungkin lupa terhadap saya.

Saya terpaksa membandingkannya dengan pemimpin Orde Baru, Jenderal Besar Soeharto dan membuka album memori tahun 2010.

Selama Presiden Soeharto berkuasa 32 tahun (1966-1998), Pak Harto juga kerap menggelar “Open House”. Tata caranya juga mirip dengan “Open House” ala Presiden Joko Widodo.

Yang membedakannya, sekalipun Pak Harto dijuluki sebagai jenderal otoriter, tapi “Open House” itu justru dimaksimalkannya sebagai jendela pembuktian bahwa Pak Harto seorang yang demokratis dan dekat rakyatnya.

Manakala menyalami rakyat yang sudah lolos pengecekan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) ke ruang resepsi, ekspresi yang diperlihatkannya adalah dia seorang pemimpin sipil yang akrab dan bersahabat.

Boleh jadi acara “Open House”, sesuatu yang membosankan. Karena harus berdiri dan berbasa-basi selama berjam-jam untuk membuat tamunya senang. Untuk itu yang dilakukan pemimpin otoriter tersebut pada acara “Open House” sebaik mungkin agar rakyat tidak merasa sia-sia membuang waktu, bersusah susah datang ke Istana.

Presiden Soeharto pada malam sebelumnya boleh jadi kurang tidur karena begadang takbiran. Namun manakala ia menyambut rakyatnya yang datang bersilah turahmi, ekspresi wajahnya selalu diiringi oleh senyuman. Senyum khas seperti yang dilukiskan O.G. Roeder, penulis buku Pak Harto yang berjudul “The Smiling General”.

Cara itu, tersenyum dengan khas itu, disengaja atau tidak, bisa menghapus semua kesan negatif atau persepsi yang keliru.

Manakala Presiden Soeharto menggelar “Open House” di Istana, pemimpin Indonesia yang pernah dijuluki sebagai Presiden represif dan militeristik itu, mempunyai cara yang khas. Dia tahu bagaimana membuat tamunya kembali ke rumah dengan cerita dan kesan positif. Entah itu permainan protokol atau atas kesadaran sendiri, yang pasti penampilan Presiden Soeharto tidak seangker seperti yang digambarkan oleh media-media asing.

Walaupun selama berkuasa Presiden Soeharto tidak pernah duduk satu meja dengan saya untuk sebuah acara makan malam, tetapi di acara-acara terbuka seperti kemarin, Pak Harto selalu berusaha mengesankan bahwa minimal dia pernah mengenal wajah saya.

“Selamat Lebaran Pak Presiden, mohon maaf lahir batin Pak. Saya Derek Manangka, wartawan, temannya Pak Taufiq Kiemas, almarhum….”, ujar saya sambil menjabat tangan dan menatap kedua mata Presiden Joko Widodo.

Penekanan tentang siapa saya, sengaja saya kemukakan, sebab beberapa tulisan saya di Catatan Tengah, ada yang mengeritik dan memuji Presiden Joko Widodo.

Salah satu tulisan saya yang menyoroti kedekatan Presiden dengan Menteri BUMN, sempat mau dijadikan bahan gugatan oleh sejumlah relawan Jokowi. Tapi gugatan itu batal mereka lakukan, setelah saya diajak bertemu oleh beberapa personalia yang mengaku bekerja di Kepala Staf Kepresidenan.

Ekspektasi saya meleset. Pak De Jokowi, entah tidak mendengar apa yang saya ucapkan, yang pasti, kemarin, suasana kaku, langsung saya rasakan dalam momen setengah menit itu. Saya kaget dengan sikap dingin Presiden Joko Widodo.

Dalam benak saya sebagai wartawan yang banyak meliput peristiwa seremonial seperti kemarin, Presiden Joko Widodo akan memberi perhatian beberapa detik kepada saya yang pada kloter itu satu-satunya tamu yang membawa anak ingusan.

Putri saya D’Amour yang mengenakan baju berwarna “jreng”, sempat saya giring tangannya untuk berjabat tangan dengan Presiden. Tapi D’Amour sendiri yang memiliki kepekaan cukup tinggi, Cakra 7 plus, juga seolah merasakan, dia tidak mendapatkan sambutankehangatan sebagaimana yang dia harapkan.

Saya sengaja membawa anak kecil itu berikut abangnya Tondy, karena sudah sejak tahun pertama Joko Widodo terpilih sebagai Presiden, D’Amour ngotot untuk bertemu dengan Joko Widodo. Setelah saya katakan, Presiden tidak mungkin menerimanya, D’Amour akhirnya melampiaskan semua yang ingin dia sampaikan, melalu “Surat Kepada Presiden Jokowi”. Surat mana kemudian dimuat di slaras dot id.

Inisiatif saya mengajak anak ke “Open House” kemarin, sekaligus sebagai kompensasi atas permintaan anak berusia 9 tahun itu. Sebab bagi dia, “Open House” terbuka bagi siapa saja termasuk dia.

Dalam perspektif saya, yang agak paham tentang bagaimana membuat sebuah acara monoton menjadi menarik, Presiden akan memanfaatkan momen itu untuk direkam oleh para juru kamera-yang meliput acara tersebut. Bahwa Joko Widodo sebagai Presiden dekat dengan rakyat kecil atau anak kecil.

Tapi itu tidak terjadi dan kesalahan memang tidak berada pada pihak Presiden melainkan pada pihak saya.

"Yah… Yah… Yah …terima kasih," jawab Presiden Joko Widodo datar dan dingin.

Saya menyebut nama Taufiq Kiemas, karena pada tahun 2010, dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPR-RI, Bang TK-lah yang membawa saya ke rumah dinas Joko Widodo di Solo sebagai Walikota, untuk sebuah acara makan malam.

Setidaknya, perkenalan melalui makan malam yang berlangsung sekitar tiga jam, pada 7 tahun silam itu, menyisakan sejumlah cerita dan berbagai latar belakang peristiwa politik.

Suasana kemarin di "Open House" sangat berbeda, ketika kami bertemu secara kebetulan di lobi Hotel Four Seasons, Jakarta, tahun 2012. Atau dua tahun setelah makan malam di Solo.

Saat itu Jokowi sedang melakukan “soft campaign” dalam rangka merebut kursi DKI Satu. Sekalipun di lobi hotel itu banyak pendukungnya yang berusaha mendekat, menyalami dan ingin foto bersama, Joko Widodo sebagai calon Gubernur, sengaja berusaha keluar dari kerumunan untuk memilih menegur saya.

Nampaknya ia ingin menunjukkan bahwa sekalipun dia seorang pejabat tinggi dari kota kecil di Jawa Tengah, namun dia cukup mengenal penduduk kota besar Jakarta seperti saya.

Malam itu, saya datang ke hotel bintang lima itu dalam rangka mengikuti sebuah acara yang tidak ada kaitannya dengan Pilkada DKI. Pertemuan kebetulan itulah yang membuat saya “tersanjung”. Bahwa seorang tokoh populer kaliber Joko Widodo ternyata memiliki daya ingat yang kuat terhadap sebuah pertemuan yang menghasilkan persahabatan.

Saya lupa, situasi 2012, Jokowi sedang mencari panggung. Taufiq Kiemas yang memperkenalkan saya dengannya, masih ada posisi. Kini Joko Widodo sudah menjadi Presiden, sementara Taufiq Kiemas sudah almarhum. Lantas saya, siapa ?

"Baju berendah pun tak punya", kata sebuah ungkapan satire orang Batak.

Rasa malu dan kecewa kemarin di “Open House” itu sempat terbawa hingga ke Wisma Negara.

Seusai bersilahturahmi, para tamu Presiden dan wakil Presiden digiring oleh protokol ke gedung di dalam kompleks Istana itu. Sebab di Wisma Negara itu sudah tersedia makanan dan minuman yang lezat. Gratis lagi. Namun makanan, minuman lezat itu tak lagi menarik selera.

Selain itu di sebuah pojok, berjajar para petugas yang membagi-bagikan bingkisan yang dikemas dengan logo Istana, sebagai kenang-kenangan.

Di era Presiden Soeharto, tanpa ditawari pun saya dan teman-teman wartawan Istana akan berebut mendapatkan rokok dan korek api yang ada lambang Istana Presiden. Kemarin situasinya berbeda. Ditawari bingkisan, dari Istana, saya tidak tertarik sama sekali.

Keputusan ikut “Open House” di Istana di hari pertama Lebaran, baru diambil pada Minggu kemarin sekitar pukul 06:00 WIB. Sebuah radio FM menyiarkan, bahwa Presiden dan Wakil Presiden menggelar “Open House” secara bersama.

Rasa ingin tahu-sejauh mana keakraban duet pemimpin RI ini menjadi-jadi, sebab sejak mereka berduet di bulan Oktober 2014, Jokowi dan JK lebih bayak dirumorkan sebagai pasangan yang sudah “pecah kongsi”.

Ada spekulasi bahwa “pecah kongsi” Jokowi-JK ini, sulit dipersatukan lagi. Sebab ada yang berspekulasi, dengan Pak JK yang usianya di tahun 2019 sudah uzur, kalau tokh Jokowi akan maju lagi sebagai calon Presiden di Pemilu 2019, sangat kecil kemungkinan dia mengajak JK sebagai pasangannya.

Apa sebab-sebabnya, mudah-mudahan bisa saya bahas dalam Catatan Tengah berikutnya. Yang pasti kebersamaan Jokowi-JK dalam “Open House” kemarin tetap menarik. Sebab kalau tahun 2017 disamakan dengan permainan sepakbola, masa sekarang merupakan saat yang bisa disebut “injury time”. Di waktu yang sangat sempit, segala sesuatu bisa berubah.

Rasa malu dan kecewa di “Open House” Istana, agak terobati, setelah saya dan anak-anak meluncur ke rumah Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.

Saat menyalami Bu Megawati, saya sengaja memperkenalkan diri. Maklum sejak Taufiq Kiemas, suaminya, meninggal 4 tahun lalu, praktis saya tidak pernah ke Teuku Umar.

Dengan ramahnya, Bu Mega yang didampingi putrinya Puan Maharani menyambut acara silahturahmi saya dalam balutan wajah sumringah dan akrab. Bu Mega seolah merasa tidak patut saya harus memperkenalkan diri lagi. Dia tahu, saya termasuk salah seorang yang sering ngobrol dengan suaminya di kediaman tersebut.

Tak lama kemudian, Presiden Joko Widodo datang ke rumah Bu Mega. Bersamaan dengan itu para petugas keamanan yang rata-rata anggota Paspampres, mulai mensterilkan ruang yang dijadikan tempat bagi para VVIP.

Begitu Presiden Jokowi masuk, saya pun keluar dari sana. Bergegas ke “Open House” Surya Paloh di Kantor DPP Nasdem. Jarak dari Teuku Umar ke Nasdem cuma dalam hitungan dua menit berkendara.

Selain Surya Paloh, di tempat ini masih banyak yang mengenal saya sekalipun sudah sejak September 1999 saya tidak lagi menjadi bagian dari tim Surya Paloh.

Hari Lebaran yang memiliki catatan tersendiri. [***]

Penulis adalah wartawan senior


Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya