Di negara yang menganut sistem parlementer, menteri yang ditolak DPR akan diberhentikan.
Demikian disampaikan pengamat politik Ray Rangkuti saat berbincang dengan redaksi, Jumat (23/6).
"Tapi kita dalam sistem presidensial, otoritas mengganti kabinet sepenuhnya ada di tangan presiden. Artinya, jika sampai sekarang menteri BUMN Rini Soemarno masih berada di kabinet di tengah penolakan panjang DPR padanya, artinya presiden masih berkenan dengannya. Tentu saja ini tidak sehat," tegas Ray.
Bagaimanapun kata Direktur Lingkar Madani tersebut menteri perlu dikontrol dan tidak cukup dengan kontrol presiden saja. Menurut Ray, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan apakah terus menerus memaksakan Rini di kabinet atau terpaksa menggantinya.
"Jika terus menerus seperti ini bisa tidak sehat bagi pemerintah. Tentu di luar soal penerimaan tersebut. Ukuran kinerja juga bisa salah satu faktor tambahan untuk mempertimbangkan apakah harus tetap mempertahankan Rini atau tidak. Sejauh yang kita lihat, Rini bekerja datar. Belum terlihat ada prestasi yang menonjol," tegas Ray.
Sebagaimana diberitakan Rini Soemarno selalu absen di setiap rapat kerja (raker) dengan Komisi VI DPR selama dua tahun terakhir ini.
Sejak Presiden Joko Widodo melayangkan surat yang sifatnya segera kepada DPR tentang penunjukan Menteri Keuangan menggantikan Menteri BUMN, dalam setiap raker dengan Komisi VI tanggal 16 Juni 2016 hingga kini telah 11 kali Menkeu mewakili Menteri BUMN.
Dalam raker dengan Komisi VI, Kamis 16 Juni 2016 lalu, Menteri BUMN diwakili Menkeu Bambang Brojonegoro. Raker ini membahas perubahan RAPBN 2016 dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga (RKAK/L) tahun 2017 Kementrian BUMN.
Rini Soemarno dilarang hadir dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR berdasarkan keputusan sidang paripurna DPR yang menyetujui usulan panitia khusus (Pansus DPR) tentang kasus Pelindo I, tanggal 18 Desember 2015 lalu. Rini Soemarno disebut dengan sengaja telah melakukan pembiaran terhadap tindakan yang melanggar undang-undang.
[san]