Berita

Zainal Bintang/net

Politik

Demokrasi Pancasila Di Depan Jalan Buntu (4-Habis)

Soekarno, Soeharto Dan Pancasila
SENIN, 19 JUNI 2017 | 20:05 WIB | OLEH: ZAINAL BINTANG

HARI Lahir Pancasila tak henti hentinya dipersoalkan. Bongkar pasang penetapan hari lahir Pancasila telah menjadi sengketa politik panjang yang menghiasi jalannya pemerintahan di Indonesia dari masa ke masa.
 
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, tanggal 1 Juni 1945 disuarakan sebagai hari lahir yang digagas oleh Soekarno selaku anggota BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai Dr.KRT Radjiman Wedyodinigrat.

Sementara di pihak lain disebutkan hari lahir Pancasila formalnya adalah pada 18 Agustus. Merujuk kesepakatan hasil rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Iinkai, yang telah merevisi susunan sila-sila seperti yang berlaku sekarang ini. Seperti diketahui ketua PPKI adalah Bung Karno.

Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, barulah Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Seiring dengan perjalalanan republik, Bung Karno yang menjadi presiden pertama  menetapkan hari lahir Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional 1 Juni 1964. 

Satu tahun kemudian terjadi pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965. Peristiwa berdarah itu  menandai kejatuhan Soekarno yang sudah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Bung Karno sang pemimpin besar revolusi berkuasa dari 1945-1966, tumbang.

Soeharto yang berlatar belakang militer berpangkat jenderal menggantikan Soekarno. Muncul di panggung politik nasional melalui kiprahnya menumpas pemberontakan  G30S/PKI dan menggulung sisa-sisanya.

Soeharto menjadi presiden mengganti Soekarno pertama kali pada tahun 1968 dan terpilih berturut-turut enam kali berikutnya, hingga dilengserkan oleh gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa pada bulan Mei 1998.
 
Pada tahun 1970 atas perintah Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), sebuah instrumen keamanan dan ketertiban ciptaan Soeharto, melarang pelaksanaan peringatan hari lahir Pancasila model  Soekarno setiap tanggal 1 Juni. Soeharto mengganti  judul menjadi peringatan hari Kesaktian Pancasila sejak 1 Oktober 1970.

Seperti halnya Soekarno, Pancasila kembali dijadikan ajian sakti jati diri pemerintah penguasa oleh Soeharto. Metode ini diperlukan sebagai bagian orkestra politik melanggengkan kekuasaan.

Dengan menempatkan Pancasila di halaman depan, Soekarno dan Soeharto merasa memiliki kekuasaan penuh menjadi penafsir tunggal Pancasila dengan segala implementasinya.

Soekarno melebur Pancasila dalam lembaga kawin paksa yang diberi nama Nasakom (Nasionalis Agama dan Komunis).

Di era Orde Baru Pancasila dibersihkan dari aroma komunis. Dielaborasi menjadi suatu faham yang sakti dengan kembali ke jatidiri sebagai lokomotif pembangunan, dengan mengharuskan dilaksanakannya P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Soekarno menggunakan frasa anti Nasakom untuk menggebuk lawan politiknya atau kepada kelompok yang kritis. Dengan temperamen yang sama Soeharto juga punya alat penggebuk kepada mereka yang kritis yakni sebagai anti P4 atau musuh Pancasila.

Masa pemerintahan Soeharto dikenal dengan sebutan rezim Orde Baru yang sangat represif (1966-1998). Pada kenyataannya kedua presiden itu menggunakan isu Pancasila sebagai primadona pelestarian kekuasaan.

Pelestarian kekuasaan Soekarno dan Soeharto semua bertumpu kepada strategi dan taktik yang mengedepankan, kalau tidak bisa disebutkan memanipulasi, Pancasila sebagai  maqom pembangunan. Pancasila sebagai “jualan” politik  nampaknya menjadi sumber kekuatan kedua bekas presiden itu,  supaya dapat mempertahankan kekuasaanya sedemikian panjang.

Tapi pada gilirannya, atas nama Pancasila pula, kedua kepala pemerintahan itu terjungkal secara tragis dari kursi kepresidenan. Soeharto dilengserkan oleh gerakan pembaharuan yang dipelopori mahasiswa pada bulan Mei 1998. Gerakan itu dikenal sebagai gerakan reformasi. Hanya dua bulan  setelah dilantik menjadi presiden yang ke tujuh kalinya.

Manakala penggunaan ajian sakti  "atas nama rakyat" itu melenceng dari kesejatiannya,  pada saat itulah kekuatan yang bersumber dari marwah kerakyatan yang majemuk itu melakukan penolakan. Dengan kata lain Pancasila yang luhur menolak menjadi kuda tunggangan nafsu berkuasa sang penguasa yang menghianati sumber kekuatan sejati Pancasila, yaitu, rakyat itu sendiri.

Di era reformasi, Pancasila pelan-pelan hilang dari peredaran. Pada masa presiden Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, Pancasila tidak penting. Tidak menjadi isu utama pembangunan. Tidak ada ritual politik berbau pelestarian. Pancasila benar-benar dibiarkan tanpa sesajen politik yang prima dari para presiden sebelum Jokowi itu.

Hampir dua dekade sejak reformasi, terlihat Pancasila terpinggirkan. Hal mana pelan-pelan menjadi pintu masuk merasuknya faham yang non Pancasila ke dalam panggung kehidupan berbangsa dan bernegara: politik identitas merebak bergerak membelah bangsa.

Di tangan Jokowi Pancasila menanti nasib. Akankah diperlakukan kembali sebagai kuda tunggangan politik untuk pelestarian kekuasaan belaka!?

Penetapan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 2017 sekaligus sebagai hari libur nasional,  yang dibarengi  pelantikan tim pengarah UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembina Ideologi Pancasila) pada tanggal  7 Juni 2017 menjadi bagian penting sejarah bangsa ini.

Jokowi boleh dikata telah mengambil sebuah tindakan politik melawan harus ditengah menguatnya politik identitas, yang justru tidak ramah kepada Pancasila.
 
Pertanyaan besarnya, apakah UKP-PIP yang terkesan lahir mendadak itu, tidak akan menjadi alat pemukul pemerintah kepada lawan politik atau kelompok kritis kepada Jokowi ?

Apakah instrumen UKP-PIP akan mampu mereduksi gumpalan polusi politik identitas yang sedang berkobar saat ini, yang dibayangi dengan ujung yang mengerikan: Bangsa ini akan terbelah ?

Sejarahlah yang akan menjawabnya.

Penulis adalah wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya