Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Sedunia pada 16 Juni lalu belum dapat dinikmati oleh para PRT di Indonesia. Tak kunjung dibuatnya payung hukum bagi PRT menyebabkan mereka masih terdiskriminasi, bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini menuturkan, berdasarkan Rapid Assesment yang dilakukan oleh JALAPRT di tahun 2010, jumlah PRT diperÂkirakan mencapai 16.117.331 orang. Sementara berdasarkan survei International Labour Organisation (ILO) tahun 2016, terdapat sebesar 4,5 juta PRT lokal yang bekerja di dalam negeri.
"Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan Berkelanjutan dan Nawa Cita yang selama ini dikampanyekan Presiden Jokowi," katanya di Jakarta.
Sampai Mei 2017, Jala PRT mencatat telah terjadi 129 kasus kekerasan terhadap PRT. Kasus tersebut antara lain, upah yang tidak dibayar, PHK menjelang hari raya dan THR tidak dibayar, membayar pengobatan sendiri ketika sakit, hingga tidak mendaÂpatkan jaminan kesehatan.
Tidak diakomodirnya PRT dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meÂnyebabkan PRT tidak memiÂliki jaminan perlindungan seÂbagaimana pekerja pada umÂumnya. "Jika pekerja dapat mengadukan permasalahannya kepada Dinas Tenaga Kerja, PRT tidak dapat melakukanÂnya. Permasalahannya terhenti di tingkatan aparat hukum. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, di mana akses keadilan untuk menempuh upaya hukum tidak disediakan oleh negara," ujar Lita.
Dalam hal upah, PRT masih jauh sekali dari perlindungan. Di kota-kota besar seperti Medan, Lampung, DKI Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar, upah PRT berkisar 20-30 persen dari upah minimum. Artinya mayoritas PRT hidup dalam garis kemiskinan dan bahkan tidak bisa mengakses perlindungan sosial dan mendapatkan hak dasar ketenagakerjaan.
Lita menambahkan, sudah 13 tahun RUU Perlindungan PRT (PPRT) di DPR dan belum dibaÂhas. Demikian pula sikap pemerÂintah tidak bersedia meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.
"Padahal hal ini juga sebeÂnarnya ada dalam janji Nawa Cita Jokowi-JK, tak hanya itu pada hari buruh 1 Mei 2014 Jokowi secara langsung menyaÂtakan dukungan untuk disahkanÂnya UU PPRT," imbuhnya.
Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus, menÂgatakan sejumlah mekanisme hak asasi manusia internasional PBB seperti universal periodic review (UPR) komite hak-hak ekonomi sosial dan budaya, dan komite konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terÂhadap perempuan juga telah merekomendasikan pentingÂnya negara-negara meratifikasi Konvensi ILO 189 atau memÂbuat hukum nasional yang menÂgakui dan melindungi pekerja rumah tangga.
"Bahkan, dalam dua daur UPR, Indonesia selalu diingatÂkan untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT," katanya.
Namun demikian, Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung pengadopsian Konvensi 189 tentang Kerja Layak bagi PRT, secara terbuka pada 2011 lalu melalui pidato Presiden RIke-6 pada forum sidang ke 100 ILO, hingga saat ini belum menunjukkan langkah maju untuk meratifikasi konÂvensi tersebut.
Magdalena menerangkan, pengakuan dan perlindungan terhadap PRT tidak hanya bertuÂjuan untuk melindungi PRT naÂmun berdampak lebih luas pada kesejahteraan perempuan dan kesempatan perempuan untuk bekerja di luar rumah. Bahkan lebih jauh lagi akan berkontriÂbusi pada pembangunan yang lebih luas.
"Pengakuan PRT sebagai pekerja dengan standar kerja layak bagi mereka tidak hanya bermanfaat untuk melindunÂgi PRT, namun juga memberi kepastian hukum hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja/majikan," katanya.
Pengakuan PRT sebagai pekerja juga membuka ruang lebih luas bagi perempuan untuk bekerja, karena pekerjaan ini mayoritas diampu oleh peremÂpuan, standar kerja yang layak akan meningkatkan ekonomi perempuan dan keluarga.
Pengabaian hak-hak PRT daÂpat mengarah pada domestifikasi perempuan yang selama ini dapat berbagi peran dengan keÂberadaan PRT. Budaya patriarki yang masih kuat melekat dalam masyarakat telah menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab kerja-kerja domestik.
"Kebutuhan untuk memasÂtikan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja sangat mendesak dilakukan. Ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan atau pengeÂsahan RUU Perlindungan PRT patut segera dilaksanakan," ujar Magdalena.
Komnas Perempuan, lanjutÂnya, meminta pemerintah dan DPR RI segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan Pembahasan RUU Perlindungan PRT, serta mendukung dan mengapresiasi pelibatan organisasi PRT dalam setiap pembuatan kebijakan dan perundang-undangan yang terkait dengan PRT. ***