Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
MANUSIA tidak pernah menghendaki dirinya dilahirkan tetapi kelahiran tidak bisa diÂtolak. Konsekwensi kelahiran adalah kehidupan dan setiap kehidupan tidak pernah sunyi dari penderitaan (saffering), karena kelahiran itu sendiÂri adalah penderitaan. Tidak akan pernah ada orang yang bebas dari penderitaan, meskipun tidak ada pula orang terbebas dari kebahagiaan. Tidak ada orang yang menangis setiap hari seperti juga tidak perÂnah ada orang ketawa setiap hari. Tangis bukan monopoli orang miskin dan tawa bukan monopoli orang kaya. Tawa dan tangis tidak mengenal kelas sosial. Istilah Al-Quran dengan indah melukiskan kehidupan ini dengan: Wa tilkal ayyam nudawiluÂha bainan nas ("Dan masa (kejayaan dan penderiÂtaan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia"/Q.S. Ali ‘Imran/3:140).
Ajaran Hindu memandang kehidupan ini sebaÂgai karmaphala, yakni kehidupan ini merupakan rangkaian kejadian masa lalu yang menjanjikan kebahagiaan dan penderitaan. Karma yang menÂdorong anak manusia menjalani kehidupannya yang tiada akhir. Semenjak lahir manusia akan bergelut dengan penderitaan, karena kelahiran itu sendiri adalah penderitaan. Pandangan yang mirip dalam agama Budha yang menganggap hidup ini adalah shangsara (sensara). KehiduÂpan di dunia ini adalah fatamorgana yang meÂnyilaukan mata dengan berbagai ancaman penÂderitaan. Kedua agama ini seolah menganggap hidup ini "nasib" penuh penderitaan yang harus dijalani manusia. Bahasa berbeda dikonsepsikan di dalam agama-agama anak cucu Nabi Ibrahim (Abrahamic Religion), seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, yang memandang kehidupan di dunÂia ini sebagai panggung sandiwara (la'ib) yang penuh dengan tipu muslihat. Pandangan eskatolÂogis Islam menganggap dunia ini bukan tempat untuk meraih kesenangan paripurna, melainkan tempat untuk bersusah payah "menanam" untuk dipanen di hari keabadian akhirat.
Meskipun manusia diselimuti dunia penderitaan tetapi manusia dikaruniai kecerdasan berlapis (inÂtelektual, emosional, dan spiritual). Orang yang mampu menggunakan kecerdasan ini bisa menÂgubah penderitaan menjadi kenikmatan. Orang-orang yang cerdas memiliki kekuatan untuk surÂvive, tidak mau kalah, tunduk, dan mengalah dengan penderitaan. Dengan kecerdasan itu maÂnusia berani dan optimis menghadapi rintangan, tantangan, problem, dan penderitaan, sehingga tampil jadi pemenang. Sebaliknya orang yang tidak menggunakan kecerdasannya ia akan berkeÂcil hati, tampil setengah jadi, bahkan frustrasi dan putus asa, sehingga ia tampil kalah dan menjadi pelanggan penderitaan tiada akhir.
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Selasa, 30 Desember 2025 | 16:08
Selasa, 30 Desember 2025 | 16:02
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:58
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:47
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:45
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:37
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:32
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:27
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:10
Selasa, 30 Desember 2025 | 15:04