PRESIDEN Joko Widodo akhir pekan kemarin melakukan lawatan ke Hong Kong. Kalau lawatan ke luar negeri ini, yang dijadikan ukuran, berarti situasi dalam negeri Indonesia, aman-aman saja. Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan tidak mungkin berani meninggalkan Tanah Air jika situasi di dalam negeri sedang bergejolak atau tidak kondusif.
Namun Indonesia, bukanlah negara yang keadaan kondusifnya bisa diukur dengan cara normal.
Keadaan Indonesia harus dilihat seperti Sungai Kapuas di tengah pedalaman Kalimantan. Air di permukaannya tenang, tetapi di bagian dasar yang tak kelihatan, ada arus kencang yang menghanyutkan.
Untuk sementara bisa dikatakan, janganlah melihat situasi Indonesia dari senyumnya Presiden Jokowi dan ketawanya Wakil Presiden JK.
Mungkin lebih tepat menilai keadaan Indonesia dari kacamata seorang komedian seperti Cak Lontong. Sudah serius tapi masih bisa tertawa. Keadaan serius bisa dijadikan bahan guyonan.
Sesungguhnya di Indonesia saat ini diam-diam sedang berlangsung sebuah pergolakan. Yang paling mudah memahaminya, lewat postingan di media-media sosial. Jadi pergolakan bukan lagi seperti zaman sebelumnya, dilakukan lewat bawah tanah.
Perseteruan di antara elit, jangan dianggap sebagai wujud kebebasan berbicara dan berdemokrasi. Melainkan sebagai bukti, demokrasi dijadikan alasan untuk menciptakan ketidak stabilan.
Perang Saudara yang sesungguhnya, seperti yang terjadi di Syria, sedang bermigrasi ke Indonesia.
Sangat jelas keinginan dari sejumlah komunitas atau kelompok dalam masyarakat yang ingin merubah dasar negara Indonesia. Ada yang mengemukakan, kita harus kembali ke UUD 45 yang asli. Sebab UUD 45 yang digunakan sekarang hasil amandemen tahun 2002.
Kembalinya Indonesia ke UUD 45 mendesak, berhubung UUD 45 hasil amandemen 2002 yang kita gunakan sekarang, telah mengakibatkan demokrasi kebablasan.
Kedengarannya positif. Tetapi jika ini dituruti, hal itu sama dengan men-delegitimasi pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Nah siapa yang menjamin tidak akan timbul Perang Saudara, bila pendelegitimasian Pimpinan Nasional terjadi?
Bahkan sudah ada yang terang-terangan ingin menerapkan "Piagam Jakarta" atau menerapkan syariat Islam.
Juga siapa yang bisa menjamin tak akan terjadi Perang Saudara - masyarakat yang non-Islam tak akan melakukan perlawanan?
Jika satu di antara kemugkinan itu terjadi, siapa yang bisa mencegah campur tangan asing - dengan seribu satu alasan?
Situasi politik Indonesia saat ini, tak bisa dipungkiri - keadaannya bisa jadi seperti yang digambarkan oleh wartawan Amerika Serikat Allan Nairn. Dimana pengelompokan di kalangan elit, cukup beraneka dan semuanya sedang menunggu kesempatan untuk bisa berkuasa.
Di antara kelompok yang ingin berkuasa itu yang paling berbahaya adalah keinginan mengubah Indonesia menjadi sebuah negara baru seperti yang diperjuangkan oleh ISIS. Perwakilan ISIS katanya sudah hadir di Indonesia.
Warga Indonesia yang sudah bersumpah setia kepada ISIS melalui upacara ritual dipimpin Imam Al Bagdadi di Irak, ada dalam video Allan Nairn.
Persoalannya menjadi sangat serius, karena walaupun Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, tetapi negara Islam versi ISIS itu diyakini sangat berpotensi memecah belah Indonesia.
Terutama karena Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk. Kemajemukan inilah yang sedang jadi ancaman.
Masyarakat Islamnya terkenal moderat. Kini kemoderatan itu juga sedang dikoyak-koyak.
ISIS sendiri, di mana-mana dimusuhi oleh masyarakat Islam moderat. Malaysia, negara tetangga terdekat adalah contohnya. Di negara Islam ini, eksistensi ISIS, secara resmi ditentang pemerintah.
Konsep ISIS lain dari lain. Intinya menakutkan. Yang pasti tidak demokratis. Mengekang kebebasan dan sebagainya.
Belum lagi sebagai sebuah negara versi ISIS berdiri secara resmi, tetapi sudah cukup jelas, negara Islam dimaksud tidak seperti negara Islam yang sudah lahir sejak ratusan lalu.
Kelahiran ISIS itu sendiri masih menyisakan banyak pertanyaan. Siapa sebetulnya konseptornya?
Atau betulkah kesimpulan yang menyebutkan, ISIS merupakan bagian dari konsep negara Barat yang ingin menghancurkan semua negara Islam?
Pertanyaan ini mengemuka, sebab dalam 50 tahun terakhir ini sejumlah negara Islam yang tadinya memiliki kehidupan yang aman dan tentram, satu persatu dilanda konflik kemudian berakhir dengan kehancuran. Akibat Perang Saudara.
Dalam video yang dimuat bersama
catatan ini, bisa dilihat nasib negara-negara Islam seperti Iran, Libya dan Afghanistan. Yang semua mengalami kehancuran. Tidak tercantum dalam video berdurasi 2 menit ini kehancuran yang dialami Irak, Syria dan negara lainnya di benua Afrika.
Kehidupan bersahabat, hadirnya wanita-wanita cantik dan lelaki ganteng di semua negara itu, sudah hilang semuanya. Senyum kebahagiaan sudah digantikan oleh tangis dan duka.
Kehidupan digantikan oleh budaya kekerasan. Pembunuhan manusia demikian muda. Membunuh manusia ada pilihan, boleh menggantung si korban saat masih hidup atau menembak kepala dengan pistol buatan negara asing.
Nyawa manusia hanya berbeda tipis nilainya dengan hewan piaran ataupun bintang buas.
Ironisnya, pengalaman di negara-negara itu tidak menjadikan kita tergugah. Malahan ada yang ingin menjadi algojo, pelaku eksskusi.
Indonesia sudah terbelah, sementara para para provokator makin agresif agar permusuhan antar sesama warga terus terjadi. Para pebisnis, konglomerat, sebetulnya ikut bermain dalam permusuhan itu. Tetapi mereka lebih suka berpura-pura diam dan lebih memikirkan cara paling aman - melarikan diri dari Indonesia jika Perang Saudara meletus.
Yang agak peduli hanyalah kaum budayawan. Sementara rakyat jelata berserah nasib atau pasrah.
Tulisan ini terinspirasi oleh kiriman video sabahat Erros Djarot, seorang budayawan yang multi talenta.
Tidak ada pesan, tetapi saya menduga sutradara film, pencipta lagu sekaligus politisi pengagum Proklamator dan Presiden pertama RI Ir. Soekarno ini, nampaknya sedang galau.
"Mau jadi apa negeriku ini?", begitu kurang lebih kata-kata yang berputar-putar di balik kepala Bung Erros. [***]
Penulias adalah wartawan senior