Berita

Jokowi-JK/Net

Ganjalan Dalam Duet Jokowi-JK: Posisi "The Real President" Dan "The Shadow President"

SELASA, 02 MEI 2017 | 06:37 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

PROGRAM pagi Televisi TVOne, baru-baru ini membahas pernyataan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla tentang isu perombakan kabinet.

Lalu mengemuka, kedua pimpinan tertinggi RI tersebut, ternyata memiliki kebijakan yang tidak sejalan. Kebijakan mereka atas persoalan bangsa dan negara cenderung bertolak belakang.

Untuk soal perombakan kebinet, Presiden menegaskan, setiap menteri harus punya target kerja. Jika tidak berhasil mencapai target, yang bersangkutan bisa diganti.

Di pihak lain, Wakil Presiden tidak suka dengan sistem target. "Kalau semua menteri dimintai target, akan banyak menteri yang diganti, karena mereka tidak mencapai targetnya".

Sebelum perdebatan itu diangkat TVOne, sudah beredar rumor, Menteri Badan Pertanahan Nasional/Agraria, Sofyan Djalil, kemungkinan akan diganti jika Jokowi melakukan perombakan kabinet.

Sebab Presiden Jokowi sebelumnya sudah menegaskan akan membagi jutaan sertifikat tanah kepada masyatakat. Naga-naganya, kementerian yang dipimpin Sofyan Djalil, tidak bisa memenuhi target tersebut.

Selain Sofyan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, juga dirumorkan sebagai pembantu presiden yang tidak mencapai target.

Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, Sofyan Djalil dan Amran Sulaiman merupakan Menteri yang mengisi "jatah"nya Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Namun apapun alasannya, perdebatan ini menunjukkan, Jokowi-JK sudah tidak solid selaku duet pemimpin Indonesia. Ini tercermin dari cara dan bahasa tubuh JK merespon pernyataan Jokowi.

Di tengah pembahasan tersebut, TVOne menayangkan kembali dua cuplikan video berbeda, yang masing-masing membicarakan rencana perombakan kabinet tersebut. Jokowi dengan argumentasinya, JK dengan alasannya.

Dari pernyataan mereka secara terpisah semakin jelas hal yang menjadi ganjalan adalah siapa sebetulnya lebih berwewenang. Apakah Jokowi sebagai "The Real President" atau JK selaku "The Shadow President"?

Antara Presiden yang sesungguhnya (Jokowi) atau Presiden Bayangan yang (mau) diperankan Wakil Presiden (JK).

Yang menjadi inti, sejatinya cuma satu: JK tidak ingin di-nomordua-kan, walaupun posisinya sebagai Orang Nomor Dua.

Situasi politik Istana seperti ini mengingatkan ceritera di awal duet Jokowi-JK tahun 2014. Cepat atau lambat JK pasti akan "berulah". Seperti ketika ia menjadi Wapres-nya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) periode 2004-2009.

Sewaktu menjabat Wapresnya SBY, JK berperan sebagai "Presiden Bayangan". Lebih dari itu. JK dijuluki oleh tokoh Muhamadiyah, Buya Syafei Ma’arif bahwa dialah sebenarnya yang "de facto" sebagai Presiden RI-He is The Real President!

Makna dari perbedaan Jokowi-JK, jika digambarkan secara kontekstual, kurang lebih begini: Presiden ingin berjalan ke Utara, Wapres maunya ke Selatan.

Jokowi melihat, Indonesia memiliki banyak ulama Islam yang hebat-hebat, sementara JK lebih suka mendatangkan Zakir Naik, ulama kesohor dari India.

Cukup jelas kan?

Kedengarannya janggal dan agak mengejutkan. Tapi begitulah kurang lebih situasi hubungan Presiden-Wakil Presiden kita hingga akhir April ini.

Sementara itu perbedaan kedua tokoh ini, semakin menajam dan menyentuh banyak topik mendasar.

Pilihan TVOne atas tema "konflik" Jokowi-JK ini cukup cerdas. Sebabnya, secara terukur media milik Aburizal Bakrie, bekas Ketua Umum Golkar seperti JK, mengangkat sebuah topik aktual dan memetakan persoalan yang paling mendasar yang dihadapi bangsa.

Dan yang tak kalah pentingnya, dari pembahasan yang ada - baik oleh para panelis maupun moderator Arif Fadil, fungsi kontrol sosial di sini, sangat mendominasi.

Jika perbedaan Jokowi-JK ini yang jadi acuan, jelas situasi Indonesia, bagaikan pasien yang sedang sakit, tengah menghadapi situasi yang sangat kritis.

Sebab dari ketidak kompakan Jokowi-JK, bisa ditarik ke sebuah kesimpulan, persoalan terbesar bangsa kita saat ini terletak di diri mereka berdua.

Atau pedagang mebel (Jokowi) dan saudagar bugis (JK) seseungguhnya yang menjadi sumber persoalan bangsa.

Bahwasanya Indonesia dililit hutang yang sudah mencekik leher, itu merupakan masalah Menteri Keuangan. Atau persoalan SARA muncul karena pemuka agama tidak mampu memerankan peranan mereka. Demikian pula ancaman teroris sebagai dampak dari perubahan ideologi yang mengglobal.

Namun persoalan yang paling mengancam kehancuran Indonesia, terletak pada tidak kompaknya Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi sangat jelas di depan mata, dari sudut pandang psikologis, Presiden dan Wakil Presiden - sekalipun keduanya sudah berada di puncak kekuasaan, mereka sebetulnya "belum selesai" dengan masalah kekuasaan.

Lantas apa alasan untuk melempar kesalahan kepada Jokowi-JK?

Jawabannya: "Bagaimana mungkin kita meminta elit bertikai kalau bosnya para elit, justru berseteru".

"Bagaimana kita bisa melunasi hutang, jika Presiden dan Wakil Presiden terganjal oleh persoalan perbedaan visi?"

Demikian seterusnya.

Indonesia yang tidak bisa mengatasi krisis demi krisis, dikarenakan oleh perpecahan duet pemimpin bangsa.

Indonesia tetap penuh sesak dengan orang miskin, sementara yang kaya makin kaya, karena menipisnya kepedulian sosial oleh duet pemimpin kita.

Yang cukup menimbulkan penasaran - mengapa Jokowi dan JK tidak mau berterus terang kepada bangsa dan rakyat Indonesia?

Mengapa mereka sudah lama tidak akur tapi masih berpura-pura harmonis? Yah seperti ungkapan yang banyak muncul di medos - agak munafikun-lah.

Sekali lagi, apresiasi yang tinggi terhadap TVOne, perlu disampaikan. Karena pemaparannya tentang perpecahan itu, terjadi pada saat yang tepat.

TVOne seakan membangunkan mereka yang masih percaya pada kekompakan Jokowi-JK: "Pemirsa, begini lho, situasi perseteruan antara Dwi Tunggal Jokowi- JK. Jadi jangan lagi berharap terlalu banyak ……".

Masa jabatan pasangan Jokowi-JK tinggal dua setengah tahun lagi (Oktober 2014-Oktober 2019).

Sisa waktu itu masih bisa digunakan untuk mengerjakan banyak hal yang bermanfaat bagi bangsa. Sebaliknya sisa waktu itu bisa mubasir apabila tak ada semacam "rekonsiliasi" di Jokowi-JK.

Percuma Jokowi bicara soal "move on", mubasir JK bicara soal pengadaan listrik dan masjid-mesjid yang tidak perlu menggunakan Toa, jika kesatuan hati, tidak terjadi di antara keduanya.

Indonesia yang dihantui oleh demikian banyak persoalan hanya bisa ditolong jika JK sebagai orang nomor dua, legowo, untuk lebih akomodatif. Bukan konfrontatif.

JK perlu meyakinkan Jokowi bahwa dengan bergandeng tangan keduanya mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertunda.

Dimanapun di negara di dunia ini, seorang Wakil Presiden, Wakil Perdana Menteri, akan dianggap aneh jika lebih mau berkuasa, menonjol, melebihi si orang nomor satu.

Bukannya mau berpihak kepada Presiden Jokowi. Tetapi sekedar mengingatkan sejarah terjadinya duet Jokowi-JK, di tahun 2014.

Duet mereka diawali oleh semacam lirik-melirik, pacarana sampai akhirnya meningkat ke 'pelaminan'.

Sebelum ‘perkawinan’ terjadi, JK-lah yang agresif memepet Jokowi agar bekas Walikota Solo ini, mau menerimanya sebagai pasangan.

Saat itu modal JK berupa pengalamannya sebagai Wapres dan mengesankan, kalau di belakang dia berdiri jutaan pemilih yang berasal dari Golkar. Walaupun dukungan Golkar itu hanya interpetasi ataupun jebakan, tetapi nyatanya ini yang membuat Jokowi manut. Menerima JK sebagai pasangannya.

Tidak ada dalam cerita nyata, apalagi dongeng, bekas Walikota Solo inilah, yang mengejar-ngejar saudagar dari Makassar ini.

Sehingga sangat wajar bila demi kekompakan dan hasil final pekerjaan berdua hingga 2019, Pak JK harus ikhlas 'mengalah'. Mengalah untuk menang, boleh kan.

Lagi pula kalau JK mau dikenang sebagai negarawan, inilah moment yang tepat untuk menunjukkan sikap itu.

Jangan lupa, rakyat akan mencatat dan memantau semua ucapan dan langkah yang Pak JK, sepanjang masih berkantor di Istana Wakil Presiden, Jl. Medan Medeka Selatan.

Jadilah negarawan yang berprinsip, 'loyalitas saya kepada negara dan bangsa dimulai dan berakhir di periode saya bertugas sebagai abdi negara'. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Tulisan 'Adili Jokowi' Curahan Ekspresi Bukan Vandalisme

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:36

Prabowo Harus Mintai Pertanggungjawaban Jokowi terkait IKN

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:26

Penerapan Dominus Litis Melemahkan Polri

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:03

Rontok di Pengadilan, Kuasa Hukum Hasto Sebut KPK Hanya Daur Ulang Cerita Lama

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:40

Senator Daud Yordan Siap Naik Ring Lagi

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:17

Penasihat Hukum Sekjen PDIP Bongkar Kesewenang-wenangan Penyidik KPK

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:53

Lewat Rumah Aspirasi, Legislator PSI Kota Tangerang Ajak Warga Sampaikan Unek-Unek

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:36

Ekonomi Daerah Berpotensi Merosot akibat Sri Mulyani Pangkas Dana TKD

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:15

Saat yang Tepat Bagi Prabowo Fokus MBG dan Setop IKN

Minggu, 09 Februari 2025 | 04:57

7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat Menuju Indonesia Emas

Minggu, 09 Februari 2025 | 04:42

Selengkapnya