Ketua Tim Pendamping Proyek pengadaan e-KTP, Setya Budi Arijanta mengaku pernah diminta untuk tidak banyak berkomentar di media terkait permasalahan proyek pengadaan e-KTP.
Permintaan itu disampaikan staf ahli dan deputi Wakil Presiden Boediono, saat dirinya dan pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dipertemukan untuk mencari titik temu mengenai sejumlah permasalahan proyek pengadaan e-KTP di Kantor Wakil Presiden.
Menurut Setya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu menugaskan wakilnya, Boediono untuk menyelesaikan masalah antara Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan Kemendagri.
Permasalahan kedua instansi pemerintah tersebut timbul lantaran LKPP berkeyakinan bahwa terjadi penyimpangan dalam proses lelang proyek pengadaan e-KTP. LKPP lantas berkeras bahwa kontrak pengadaan e-KTP harus dibatalkan.
Guna menyelesaikan masalah itu, kedua belah pihak kemudian dipertemukan di Kantor Wapres.
"Karena waktu itu kan sudah kontrak, kami tidak tahu pertimbangannya jalan terus apa, tapi kami tidak boleh ribut di media. Tapi saya tidak mau. Karena Perpres 54 masih bunyi, sampai hari ini kalau ada pelanggaran prosedur, batal kontraknya," ungkap Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP itu, saat dihadirkan dalam persidangan lanjutan kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (17/4).
Awalnya, LKPP yang ditunjuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pendamping proyek pengadaan e-KTP bersuara keras terkait adanya dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan proyek e-KTP.
Hal itu dikarenakan pihak Kemendagri mengabaikan saran dari LKPP yang merekomendasikan agar 9 lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP tidak digabungkan. Sebab, penggabungan kesembilan lingkup itu dinilai akan gagal.
Adapun 9 lingkup pekerjaan yang dimaksud yakni, pengadaan blangko KTP berbasis chip yang meliputi, pengadaan blangko KTP elektronik, personalisasi KTP elektronik, penerbitan dan distribusi KTP.
Kedua, pengadaan peralatan di data center dan disaster recovery center di pusat. Ketiga, pengadaan peralatan (perangkat keras) di Kab/ Kota.
Keempat, pengadaan peralatan (perangkat keras) kecamatan. Kelima, pengadaan sistem AFIS. Keenam, pengadaan perangkat lunak (software/ application/OS).
Selanjutnya, layanan keahlian pendukung kegiatan penerapan KTP elektronik, bimbingan teknis untuk operator dan pendampingan teknis, serta penyediaan jaringan komunikasi data (NIK dan KTP Elektronik).
Tidak hanya itu, LKPP juga sempat menyarankan agar pelelangan dilakukan secara elektronik (e-procurement) dan tidak manual. Kriteria penilaian harus kuantitatif sesuai dengan Perpres 54 /2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Gamawan Fauzi yang saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, tidak terima dengan tudingan LKPP. Gamawan kemudian melaporkan hal itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Waktu itu, Pak Mendagri lapor ke presiden, karena hanya LKPP saja yang berpendapat pengadaannya tidak benar. Mendagri berpendapat, instansi lain menilai tidak ada masalah," ujar pegawai LKPP itu.
Presiden saat itu menugaskan Boediono untuk menyelesaikan masalah antara LKPP dan Kemendagri. Kedua pihak kemudian dipertemukan di Kantor Wapres. Namun, sambung Setya, LKPP masih bersikukuh pada pendapatnya yang berujung mundurnya LKPP sebagai pendampin proyek pengadaan e-KTP. [ian]