KAGUM dan minder, begitu kira-kira suasana kebatinan yang saya hadapi ketika menerima perempuan-perempuan Kendeng di kantor Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu. Para perempuan hebat pejuang "makna", dan makna yang diperjuangkan itu bernama Lestari. Alam dan peradaban yang tetap lestari untuk generasi saat ini dan nanti.
Perempuan-perempuan dan laki-laki Petani Kendeng mencor kedua kaki mereka dengan semen sebagai simbol perlawanan dan pesan kepada Presiden bahwa mereka telah kehilangan harapan kepada para pembuat kebijakan dan aparatur hukum, dan kini, memilih berdiam di depan Istana, bahkan sampai salah satu dari mereka, yakni Yu Patmi, harus gugur karena sakit, selama masa aksi mencor kaki tersebut, dan masih berharap uluran tangan Presiden datang membantu, meskipun dulu sempat berjanji yang kemudian tak kunjung ditepati.
Namun, harapan yang membawa mereka tetap menyampaikan pesan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, sayangnya, ketika salah satu dari mereka bertemu dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu, mereka justru harus menelan kekecewaan dan kesedihan yang teramat sangat.
Militansi yang tinggi memperjuangkan makna lestari melalui penolakan terhadap pendirian pabrik semen Indonesia yang akan dibangun di Rembang, bagi mereka terang berpotensi merusak lingkungan alam sekitar. Fakta empirik, jangka panjang, selama ini pabrik semen memang menyisakan kerusakan lingkungan alam (negative externalities) dan tentu memberikan dampak ekonomi yang positif jangka pendek (positive externalities). Nah disini letak, kontradiksi paradigma dan bersikap petani Kendeng dengan para professor kampus serta para pembuat kebijakan lainnya yang mendukung pabrik semen.
Permasalahan ekonomi jangka pendek (short term) dengan ekonomi jangka panjang (long term), sangat berbeda. Bisa jadi dalam jangka pendek sebuah kebijakan ekonomi memberikan dampak jangka pendek yang positif, namun bisa berbeda dampak jangka panjangnya. Misal, kebijakan rezim utang era jaman Soeharto memberikan dampak positif bagi situasi pembangunan ekonomi saat itu yang ditopang melalui utang.
Namun apa yang dialami Indonesia dalam jangka panjang ketika utang-utang tersebut membengkak karena perubahan kurs rupiah, sehingga utang membesar dan kita terjebak dalam kebijakan ekonomi"“candu hutang". Karena untuk membayar hutang lama kita terpaksa membuat utang baru. "Gali lubang, tutup lubang," kata Bang Haji Rhoma Irama dalam lirik salah satu lagu termasyurnya.
Maka, setiap kepemimpinan selalu rajin menyalahkan rezim sebelumnya, jadilah saling mengutuk antar generasi atau antar rezim. Pun, demikian dengan kebijakan obral tanpa jeda, kontrak karya kepada pelbagai Multinasional Corporation (MNC) yang telah memberikan ruang eksploitasi sumber daya alam yang merugikan Indonesia sampai saat ini.
Kebijakan ekonomi kita selama ini dikuasai oleh rezim ekonomi jangka pendek yang abai dengan keberlangsungan generasi berikutnya. Orientasi pembangunan yang mengedepankan "keindahan" angka makro ekonomi jangka pendek yang dilengkapi dengan akrobat angka statistik dan perspektif moneteris yang rabun jauh, telah merampas masa depan ekonomi jangka panjang, yakni ekonomi yang menghadirkan peradaban yang lebih baik bagi anak cucu di masa yang akan datang.
Sayangnya, kebijakan ekonomi jangka pendek tersebut diformulasikan oleh para Professor perguruan tinggi yang seharusnya merawat kearifan hidup bagi masa depan peradaban, nah pada ranah ini, saya menemukan fakta kontradiktif, mereka yang mengaku dari institusi yang seharusnya mengusung etik dan kebaikan bagi keberlangsungan peradaban jangka panjang justru berpikir jangka pendek, dan cenderung sekedar rent seeker, sedangkan petani yang tidak memperoleh pendidikan formal layak justru merawat nalar jangka panjang untuk peradaban, menjaga idelisme dan etika hidup lestari.
Nalar Lestari vs Nalar RentePetani Kendeng paham betul bahwa pabrik semen memberikan dampak positif bagi banyak orang dalam jangka pendek, yakni terserapnya tenaga kerja dan efek multiplier ekonomi lainnya. Namun, ternyata paradigma dan kearifan hidup mereka sudah beyond dampak-dampak jangka pendek tersebut, mereka membangun konstruksi pikir tentang masa depan, tentang hak anak-cucu, yang saya sebut sebagai Nalar Lestari.
Nalar lestari yang mereka ajarkan melalui kegigihan mereka memperjuangkan hak hidup dan lingkungan alam mereka, melalui aksi-aksi mereka menolak pabrik semen. Aksi mencor kaki, dan segala upaya hukum dan politik yang mereka lakukan, memberikan pembelajaran (ibrah) sekaligus kritik kepada kita semua tentang nalar rente yang mendominasi alam pikir kita, para politisi, professor kampus tukang stempel naskah akademik, aktivis yang berburu rente atas nama dukung mendukung dan kelompok lainnya.
Nalar lestari yang diperjuangkan oleh para petani kendeng, idealnya adalah nalar para cerdik pandai, mereka yang lahir dan hidup di entitas yang seharusnya mengusung kearifan peradaban masa depan bukan kepentingan jangka pendek, entitas seperti kampus, organisasi kemasyarakat dan entitas lainnya yang menjadi penjaga moral peradaban. Namun, kenyataannya, justru nalar lestari itu tumbuh dari petani-petani yang memaknai hidup sebagai pelayanan untuk anak-cucu, hidup tidak tentang diri (egoism) tetapi juga tentang masa depan generasi setelah kita, tentang warisan kebaikan yang akan ditinggalkan.
Mereka yang merawat nalar lestari tersebut dituduh menjadi agent perusahaan semen asing, PKI lah dan segala tuduhan yang dialamatkan kepada mereka untuk sekedar mendegradasi perjuangan nalar lestari yang mereka lakukan, bahkan ketika saya ikut memberikan dukungan perjuangan nalar lestari para petani kendeng, ada sekelompok orang mengaku berasal dari Pemuda Muhammadiyah berusaha melakukan demoralisasi terhadap perjuangan petani kendeng tersebut.
"Semen Indonesia dan BUMN harus menjadi pemenang dalam pengelolaan sumber daya alam dari pemain-pemain asing serta orang-orang yang dimainkan," begitu alasan mereka.
Alasan yang sama dan selalu digunakan untuk melakukan demoralisasi dan delegitimasi nalar lestari yang dibangun oleh para petani kendeng, dengan cara yang paling mudah, yakni menyebut para petani kendeng dan para pendukungnya adalah bayaran perusahaan semen lain. Mereka menggunakan nalar rente yang akrab mereka praktikkan, kepada orang lain yang sedang memperjuangkan nalar lestari untuk masa depan. Konstruksi nalar rente yang egoistik telah banyak merubuhkan masa depan pondasi pembangunan ekonomi kita.
Saya berharap, Presiden Joko Widodo, menangkap pesan masa depan, nalar lestari yang dibawa para petani kendeng. Meninggalnya Yu Patmi (48 tahun), salah satu perempuan hebat petani kendeng yang konsisten menyampaikan pesan tentang nalar lestari ini harusnya membuka hati Presiden Joko Widodo, bahwa mereka memperjuangkan masa depan, mereka berdiri dan mencor kakinya demi masa depan Indonesia lestari. Indonesia yang kita wariskan kepada anak cucu dalam kondisi masih elok, bukan Indonesia yang telah rusak alamnya penuh dengan “bopengâ€.
Pesan nalar lestari petani kendeng, harusnya membuat malu, kita yang mengaku intelektual namun konstruksi pikirnya dipenuhi dengan nalar rente, nalar jangka pendek yang mereduksi pembangunan sekedar tentang ekonomi an sich, bahkan ekonomi tersebut direduksir lagi sekedar tentang keuntungan sesaat, dan mengabaikan hak ekonomi anak-cucu kita. Berhentilah menjadi intelektual yang menjual stempel hanya demi berburu rente jangka pendek. Indonesia membutuhkan para cerdik pandai yang merawat keadaban masa depan, keadaban yang menghadirkan kebaikan untuk generasi saat ini, dan generasi masa depan dan keadaban itu bernama Nalar Lestari. [***]
Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah