Hakim Agung I Gusti Sumanatha membeberkan beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki calon Hakim Agung.
Menurutnya, hakim agung yang ideal selain profesional juga harus memiliki soft competency berupa integritas dan hard competency berupa pengetahuan luas di bidang hukum dan bidang lain.
Hakim Agung wajib memiliki pengetahuan yang luas karena tugasnya dalam menangani perkara harus menggunakan cara berfikir silogisme dan dialektika.
Namun, di era global saat ini, tak kalah penting juga, Hakim Agung harus bisa tertib administrasi perkara, umum dan keuangan.
"Administrasi peradilan harus aksestable, bagi publik dan juga yang berpekara. Publik harus tahu dalam tahapan apa perkaranya. Hakim Agung harus merupakan manager yang baik, harus mampu membuat pola administrasi dimana pencari keadilan bisa mengetahui jalannya perkara," kata Sumanatha dalam diskusi di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Kamis, (6/4).
Karena lanjut Sumantha, tugas Hakim Agung sebenarnya tidak hanya sekedar menegakkan keadilan. Tapi juga bagaimana proses penegakan keadilan itu dibuka untuk publik.
Kewajiban "open public" itu tidak hanya bagi hakim di tingkat bawah tapi di tingkat MA hakim harus menguasai administrasi pengadilan.
"Ada time framing yang jelas, berapa biaya peradilan, selama apa peradilan itu berjalan. Bagaimana agar biayanya agar tidak terlalu mahal," lanjutnya.
Syarat selanjutnya, Hakim Agung harus sehat. Ini menurut Sumanatha sangat penting. Karena berdasarkan aturan, peraturan, Hakim Agung akan diberhentikan dengan tidak hormat jika 3 bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya. Kesehatan Hakim Agung juga menjadi sangat penting mengingat beratnya pekerjaan sebagai Hakim Agung dalam memutuskan tumpukan perkara.
"Tahun lalu saya dalam sebulan menangani 1.300 perkara. Itu menggambarkan bahwa Hakim Agung harus punya kondisi fisik yang kuat," kata Sumanatha.
Syarat berikutnya adalah, calon Hakim Agung harus menyadari bahwa profesi hakim sebagai silent corps atau profesi yang diam, tidak boleh reaktif, tidak boleh merespons hiruk pikuk yang terjadi di masyarakat.
"Hakim tidak boleh memberikan komentar pada putusannya sendiri. Hakim tidak boleh terbuai dengan pujian yang terkaitan dengan putusannya dan tidak boleh merasa takut jika terancam. Hakim juga merupakan profesi yang kesepian. Ruang gerak hakim harus terbatas untuk menghindari bentrokan kepentingan," demikian Sumanatha.
[zul]