Pusat Kajian Jaminan Sosial Nasional (PKJSN) mendesak pemerintah kembali menjalankan amanat UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dengan mengalihkan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan sebanyak 4,8 juta pegawai negeri sipil (PNS) ke BPJS Ketenagakerjaan.
PKJSN menilai, telah terjadi inkonsistensi politik di balik terbitnya Peraturan Pemerintah 70/2015 yang kembali memberikan kewenangan kepada PT Taspen (Persero) untuk mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Bahkan PKJSN menyatakan inkonsistensi tersebut berlanjut karena saat ini tengah digodok Rancangan PP untuk perlindungan JKK dan JKM untuk tenaga honorer di lingkungan Kementerian dan Lembaga yang juga akan diselenggarakan oleh PT Taspen.
"Kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan jaminan sosial bagi tenaga kerja sudah melenceng dari UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS, di mana dalam UU tersebut sudah jelas disebutkan bahwa BPJS hanya ada dua, yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, PT Taspen ini sudah makar," kata Direktur Eksekutif PKJSN, Ridwan Max Sijabat, dalam Focused Group Discussion bertema "Evaluasi Regulasi Pendukung Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan" di Jakarta, Rabu (5/4).
Menurut Ridwan, kekeliruan menafsirkan konsep program jaminan sosial yang sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS ini sudah terjadi ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru menyerahkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk nelayan kepada perusahaan asuransi swasta, bukan ke BPJS Ketenagakerjaan.
"Kalau PT Taspen sudah diizinkan menjadi BPJS pensiun bagi ASN, maka hampir pasti PT Asabri juga tidak akan diintegrasikan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan. Ini jelas merusak konsep awal dan political platform tentang BPJS seperti yang diamanatkan dalam UU 24/2011 tentang BPJS," lanjutnya.
Ridwan menyebut, tidak terintegrasinya program jaminan sosial ketenagakerjaan untuk nelayan dan ASN ke dalam BPJS Ketenagakerjaan adalah bentuk ego sektoral yang terjadi di dalam pemerintahan.
"Sejatinya Pemerintah segera mengarahkan Taspen melaksanakan integrasi ke BPJS Ketenagakerjaan secepatnya, sesuai semangat dan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Ini memastikan seluruh PNS akan mendapat hak perlindungan yang sama dengan pekerja lain di Indonesia, tanpa diskriminasi," kata Ridwan.
Hal senada juga dikemukakan pengamat jaminan sosial, Hotbonar Sinaga, yang menilai telah terjadi disharmonisasi regulasi terkait penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia. Menurut Hotbonar, pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan amanat UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS, karena menerbitkan PP 70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) melaksanakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi aparatur sipil negara.
"Terbitnya PP 70/2015 tersebut telah menabrak tiga undang-undang sekaligus yakni, UU SJSN, UU BPJS dan UU ASN," tegasnya.
Selain menabrak tiga UU, keberadaan PP Nomor 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Presiden 109/2013. Berdasarkan Perpres itu, pekerja penerima upah penyelenggara negara, seperti CPNS, PNS, anggota TNI-Polri, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Prajurit Siswa TNI dan Peserta didik Polri, harus didaftarkan dalam empat program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan.
Secara khusus Hotbonar merinci, ketentuan dalam pasal 7 PP 70/2015 tentang JKK dan JKM yang memberikan kewenangan kepada PT TASPEN (Persero) tersebut juga bertentangan dengan sejumlah UU dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah ditetapkan sebelumnya.
Demikian halnya dalam Pasal 13 ayat (1) UU 40/2004 tentang SJSN dan Pasal 15 ayat (1) UU 24/2011 tentang BPJS yang menyatakan bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.
Selanjutnya, kata Hotbonar, dalam Pasal 57 huruf f UU 24/2011 tentang BPJS sendiri sebenarnya hanya memperkenankan PT Taspen (Persero) untuk menambah peserta baru, bukan program baru.
Dia menjelaskan, ketentuan dalam pasal 7 PP 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 92 ayat (2) UU 5/2014 tentang ASN yang menegaskan, bahwa perlindungan kepada ASN yang berupa Jaminan Kesehatan JKK dan JKM mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional.
Terakhir, Hotbonar mengingatkan kembali tentang Putusan MK 007/PUU-III/2005 tanggal 31 Agustus 2005 yang menyatakan PT Taspen bukan sebagai BPJS yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo mengaku masukan yang diberikan pihaknya kepada pemerintah terkait aturan jaminan sosial tidak pernah digubris sehingga bisa keluar PP 70/2015. Seharusnya pemerintah sebelum mengeluarkan aturan juga berkordinasi kepada DJSN.
Sementara Direktur Harmonisasi Perundangan-Undangan Kemenkum Ham, Karjono, meminta pihak-pihak yang merasa keberatan atas PP 70/2015 mengajukan keberatan kepada pemerintah dengan tembusan ke kementerian terkait.
"Semuanya baik Taspen, Asabri dan BPJS duduk bareng untuk membicarakan ini. Saya kira kalau semuanya duduk bareng akan ada solusi," katanya.
[ald]