ROIS Aam PBNU KH. Ma'ruf Amin di Republika ( 27/3) menyatakan radikalisme agama dan radikalisme sekuler sama-sama ancaman serius bagi Pancasila. Yang dimaksud ialah Pancasila versi 18 Agustus 1945 yang dimuat Preambule UUD 45 Asli. Pancasila yang absah.
Artinya, Pancasila versi 1 Juni 1945 yang belakangan dibuat Keppresnya oleh Presiden Jokowi, tidak sah menurut hukum. Juga bukan Pancasila 22 Juni 1945 versi Muhammad Natsir yang disebut Piagam Jakarta. Keduanya sama-sama tidak absah menurut hukum. Yaitu, karena hukumnya baru dibuat setelah tanggal 17 Agustus 1945.
Cukup terang yang dimaksud Makruf Amin tidak setuju pidato Presiden Jokowi agar agama dipisah dengan politik. Artinya, Presiden Jokowi memprovokasi munculnya radikalisme sekuler. Mengapa tak diadu saja dua radikal itu?
Sejauh ini radikalisme agama sudah dibahas, subtansinya Pancasila 22 Juni, arahnya ke Republik Islam. Sedang radikalisme sekular adalah Pancasila 1 Juni, arahnya ke Republik Sosialis.
Sewaktu Orde Baru, gerakan Pancasila 1 Juni itu yang sangat diwaspadai oleh rezim Soeharto, khususnya terhadap komunisme Marx dan Lenin. Tapi TAP MPR tidak menyebut Hegelian, guru Mao, dan atau Kiri Baru.
Terkini state capital, yang ini boleh, diversifikasi dan mutasinya banyak, misalnya OBOR China yang muncul sebagai negara adidaya baru. Entah bagaimana Indonesia mau mengelola dua ekstreem itu. Dulu, hal itu urusannya ABRI, lengkap dengan kontrol pikiran radikalnya. Instrumen hukumnya, dibuat UU Subversif yang mampu menindak perbuatan sekaligus pikiran.
Setelah reformasi, pekerjaan ABRI tadi diserahkan kepada kepolisian. Kemudian dibentuk badan khusus bernama Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT). Dilengkapi Detasemen Khusus 88 (Densus 88). Tapi fungsi Paban (perwira bantuan), BP7, skrining Laksus, etc, Densus tak punya.
Musuh utama Densus ialah kaum kanan yang beroleh legacy nama dari Presiden Bush: terorisme!. Pasti Islam. Sebab yang diteror selalu Kristen Barat. Dan pentolan terorisnya selalu bernama Abu.
Jadi, kebalikan Orde Baru. Yang banyak ditangkapi Paban, ialah komunis, bukan sosialis. Yang ditangkapi Densus selalu Islamis, belum pernah menangkap Komunis.
Itu yang ingin dikemukakan bahwa Densus tidak mewaspadai bahaya radikalisme sekuler. Saya memang tak kunjung mendengar Densus berteriak perlunya mewaspadai paham radikalisme sekuler yang belakangan laksana jamur di musim hujan. Apa Densusnya ikut sekuler?
Buktinya tak ada badan khusus penanggulangan bahaya sekularisme. Hendaknya dibentuk Densus Sekularisme ini Pak Jenderal Tito, sebelum nasi jadi bubur. Agar ketika pensiun, tak punya pe-er.
Saya juga menguttip radikalisme sekuler dari Taufikurrahman Ruki, mantan Ketua KPK, yang merasa pidato Jokowi paradoks.
Harvey Cox, pakar sekularisme, memberi konstruksi kategori sekular.
Pertama,
Dischanment of Nature. Kehidupan dunia disterilkan dari pengaruh ruhani dan agama. Sekuler liberal ini, membatasi peran agama hanya di wilayah personal. Agama cukup di dinding mesjid, gereja, dst Di luar itu, akal manusia jadi tuhan.
Sekuler radikal ini menghendaki agama menyingkir dari kehidupan. Kurang lebih sama dengan doktrin komunisme.
Kedua,
Desacralization of Politics. Mazhab ini menghendaki politik dikosongkan dari pengaruh agama dan nilai spiritual. Sebab, politik semata urusan akal manusia.
Agama dengan segala simbolnya, dilarang terlibat politik. Agama merupakan wilayah khusus, harus dipisah alias tak boleh disatukan dengan politik. Ini yang diminta Presiden Jokowi.
Jika jadi, setidaknya empat parpol yang harus membubarkan diri. Yaitu, PKB, PPP, PAN, dan PKS. Keempatnya, menggunakan doktrin agama, dan jargon Islam. Saya baca di medsos, Ketua Umum PKB Cak Imin buru-buru menolak gagasan
divided of relegion itu. Sebab, bisa keburu bangkrut PKB akibatnya.
PAN saya belum dengar, sebab azasnya sangat panjang, terpanjang di dunia. Dan tak punya doktrin Islam. PPP yang berazas Islam, saya juga tak dengar. Agaknya karena PPP Nahi Mangkur dan PPP Nahi Mungkar sedang sibuk mendukung Ahok. Lupa.
Ketiga,
Deconsecration of Values. Tak ada kebenaran mutlak! Nilai-nilai adalah relatif. Doktrin ini menisbikan kebenaran kitab suci. Kitab suci tak lebih dari buatan manusia. Akibatnya, akhirat menjadi dongeng para dukun dan para peramal. Karena logikanya begitu, penganut paham ini suka mengolok-ngolok kitab suci.
[***]Penulis adalah mantan Anggota Komisi Hukum DPR dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum, PBNU