KALAU semua pihak mau berkata jujur, bersikap kesatria, memiliki kepekaan yang tinggi serta rasa memiliki yang tak terbatas atas NKRI, akan sepakat bahwa penyelenggaraan Putaran Kedua Pilkada Jakarta membahayakan keselamatan bangsa.
Dalam situasi seperti pekan ini, dimana rasa permusuhan yang ditimbulkan oleh SARA sudah semakin meluas, pelaksanaan Pilkada tersebut berpotensi memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Gara-gara Pilkada 19 April 2017, NKRI bisa bernasib seperti Uni Sovyet - negara komunis yang wilayahnya membentang dari Eropa Barat sampai Asia Timur, tercerai berai.
Uni Sovyet, yang di pertengahan 1980-an, dipimpin oleh seorang reformis bernama Mikhail Gorbachev, pecah setelah tujuh dekade bertahan sebagai sebuah negara.
Keinginan Gorbachev untuk menegakkan demokrasi di seluruh wilayah negara komunis itu - meniru demokrasi liberal ala Amerika atau Eropa Barat, disuarakannya melalui pidato kontroversil di Vladivostok, kota bisnis di bagian Asia Timur.
Menurut Mikhail "Gorby" Gorbachev, Uni Sovyet perlu mengadopsi "glasnost" dan "perestroika". Dalam kata lain demokrasi yang berintikan keterbukaan dan kebebasan, menurutnya patut dilaksanakan di Uni Sovyet.
Ketika itu, infrastrutktur politik Uni Sovyet sebetulnya tidak atau belum siap. Sehingga ketika paham demokrasi itu dijual oleh Gorby, respondnya berbeda. Sebab sejumlah negara bagian yang berstatus provinsi, memanfaatkan momen tersebut untuk menjadi negara merdeka.
Akhirnya di negara komunis yang wilayahnya terluas di dunia itu, perpecahan bangsa tak terhindarkan.
Uni Sovyet bubar dan lebih dari 10 provinsi berdiri sebagai sebuah negara barui merdeka, di mana salah satu induknya sekarang bernama Rusia.
Negara baru merdeka bermunculan seperti Latvia, Estonia, Belarus, Georgia, Tajikistan, Kazakhztan dan Uzbeskhistan.
Kita bukanlah seperti bekas Uni Sovyet. Indonesia bukan pula negara komunis. Tetapi struktur wilayah kepulauan kita lebih berpotensi terbelah.
Ditambah dengan ketidaksiapan infrastruktur politik, sama dengan Uni Sovyet, kita belum cukup kuat untuk menerima dan melaksanakan demokrasi liberal.
Sehingga penyelenggaraan Pilkada yang bernafaskan sistem demokrasi liberal itu membuat NKRI sedang dalam pertaruhan besar.
Dalam perspektif lain, Pilkada Jakarta juga tak ubahnya dengan sebuah perangkap demokrasi.
Perangkap ini dipasang oleh kekuatan yang tak bisa kita kenali melalui amandemen UUD 45 pada tahun 2002.
Kita, warga Jakarta atau bangsa Indonesia berhasil digiring masuk ke kamar perangkap yang mirip sebuah ruang labirin.
Ruang itu memiliki banyak pintu tapi tidak semuanya berfungsi sebagai pintu keluar. Dan hanya ada satu pintu keselamatan.
Pada saat sudah masuk dalam jebakan, lalu ada yang melepas seekor ular kobra ke ruang labirin tersebut. Kita baru "ngeh" tapi situasinya sudah agak terlambat.
Untuk menyelamatkan diri dari gigitan ular kobra, kita berusaha melindungi diri. Kita saling memukul, cakar-cakaran dan bahkan bunuh-bunuhan.
Padahal kita semua bersaudara. Kita berkelahi hanya karena kita ingin keluar. Sialnya kita, tak bisa menemukan pintu keluar. Kita hanya berputar-putar di dalam sementera si ular kobra yang ingin membunuh kita dengan cairan racun, sudah mengendus keberadaan kita. Detik kematian kita sudah berdetak.
Kiasan di atas mungkin terkesan berlebihan. Namun moralnya untuk mengingatkan semua kalangan bahwa Pilkada Jakarta, sangat membahayakan kehidupan berbangsa.
Pilkada bakal mematikan, setelah didahului "chaos" di mana kita sesama warga bangsa DKI dan Indonesia kemudian saling membunuh.
Hasil Pilkada Jakarta 19 April 2017, diprediksi tak akan membawa manfaat bagi warga Jakarta apalagi bangsa Indonesia.
Alasannya, tidak satupun dari dua kandidat Ahok dan Anies diterima secara utuh jika satu di antara mereka keluar sebagai pemenang.
Sudah bagus kalau pasca Pilkada tidak diwarnai anarki. Yang diprediksi berbagai bentuk demo dengan tema SARA, bakal muncul setiap hari, setiap minggu hingga Jakarta menjadi ibukota negara demo.
Dan demo-demo itu akan terus mengganggu warga yang menginginkan kedamaian.
Tanpa kita sadari pesta demokrasi itu lebih menjadi forum obral janji dari kedua kontestan. Janji yang bisa berakhir dengan pepesan kosong.
Semua kemungkinan di atas diperkirakan terjadi, akibat kemarahan dari yang kalah dan eforia dari yang menang.
Kemarahan sang pecundang dan eforia sang pemenang, bertabrakan di semua tempat. Di berbagai wilayah dan lini Jakarta, bermunculan diorama gontok-gontokkan. Mengajak berkelahi untuk melampiaskan emosi dan egoisme.
Terjadinya perkelahian ini tak lain karena unsur manusiawai saja. Kita sebagai manusia Indonesia belum siap berdemokrasi ala liberal seperti yang kita lakonkan di Pilkada sekarang.
Tapi kita berpura-pura sudah siap dan matang. Sementara para elit yang menjadi sponsor pertarungan di Pilkada, hanya berpikir demi kepentingan kelompok.
Kita memaksakan sebuah budaya demokrasi yang sebetulnya tidak sepenuhnya sesuai dengan jiwa dan naluri kita.
Kita belum terbiasa seperti gaya kontestasi di Pilpres Amerika. Ada debat tapi bukan debat kusir.
Ada persaingan tapi bukan seperti orang yang bersaing antara hidup atau mati. Tidak juga bertarung siapa yang akan masuk surga dan siapa yang tertendang ke neraka.
Sistem Pemilu dan Pilkada yang kita adopsi secara filsafat menjiplak sebagian besar sistem Amerika. Sistem negeri Paman Sam itu tidak sesuai dengan Pancasila, dimana dinyatakan, pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Bukan dengan pemungutan suara.
Pilkada memperjelas kebingungan kita. Sebab esensi UUD 45 dan Pancasila saling bertentangan. UUD 45 pro sistem voting, Pancasila pro sistem musyawarah.
Jadi jiplakan itulah yang sebetulnya menimbulkan masalah.
Kita belum terbiasa dengan demokrasi "menang tanpa menyoraki dan kalah tetapi tetap dengan jiwa sportif dan kesatria".
Kondisi yang ada pasca debat Senin 27 Maret 2017 sangat jelas memperlihatkan lahirnya ancaman terhadap persatuan bangsa.
Warga ibukota sudah sangat terbelah dan dirasuki perasaan emosional.
Diakui atau tidak debat Ahok dan Anies di program "Mata Najwa" Metro TV, bukan membuat pemilih paham apa program unggulan kedua kandidat. Melainkan lebih mempertajam ketersinggungan yang menunggu waktu untuk meledak.
Simaklah semua postingan di media-media sosial yang berasal dari pendukung kedua kubu, dalam 24 jam terakhir ini.
Ada kumpulan massa yang tak terlihat sedang menunggu momen bagaimana melampiaskan kemarahan kepada lawannya.
Saling mengejek, mencaci dan mengenyek, mewarnai semua postingan itu demi menegaskan keberpihakan masing-masing.
Ini tidak sehat dan berbahaya. Permusuhan di dunia maya ini, hanya menunggu memontum kapan dibawa ke dunia nyata.
Jadi untuk menghindari permusuhan seperti ini dan kalau mau Jakarta dan Indonesia damai, sebaiknya Pilkada dinyatakan batal saja. Tidak ada yang menang dan tak ada kalah. Rakyat banyak terselamatkan.
Jadi kalau mau Jakarta Damai, batalkan Pesta Politik tersebut.
Cukup jelas Ahok dan Anies bukan figur yang pantas memimpin Jakarta untuk situasi saat ini.
Ketidakpantasan itu dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa kalau Ahok menang, dia akan menjadi lebih percaya diri atau PD. Saking PD-nya dia bakal menjadi orang yang merasa paling benar (PB). Saking PB-nya dia akhirnya menjadi seorang otoriter!
Sebaliknya kalau Anies menang, juga sami mawon. Tapi yang paling dekat, Anies yang banyak diserang dalam soal pemecatannya sebagai Mendikbud oleh Presiden Joko Widodo, akan menghina dina Ahok - terutama karena Ahok disebut-sebut sebagai sahabatnya Presiden.
Ada dendam berkepanjangan dan berkesinambungan.
Sebab belum menangpun, Anies sudah mengatakan akan berusaha memecat Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur resmi DKI Jakarta.
Anies juga mungkin akan mengobok-obok semua program yang sudah berjalan-sepanjang itu bagian dari legacy Ahok. Kalau sudah begitu, Jakarta mau dibawa kemana?
Anies mungkin akan bersikap seperti pejabat yang berkuasa di era Orde Reformasi. Dimana semua yang berbau peninggalan Orde Baru, harus dihapus.
Atau Anies akan menjadi seperti pemimpin Orde Baru yang membuang semua yang berbau rezim Orde Lama.
Yang pasti tindakan apapun dari sang pemenang bakal menimbulkan instabilitas di ibukota. Kalau sudah begini, Pilkada berarti bukanlah sebuah solusi. Mengingat Jakarta sebagai barometer, kejadian di Jakarta akan ditiru oleh kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.
Lalu apa solusinya? Yah, sekali lagi batalkan pelaksanaan Pilkada DKI Putaran Kedua. Pilkada pengganti boleh digelar dengan peserta baru. Ahok dan Anies dieleminasi.
Untuk sementara peran Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Soni Sumarsono, diperpanjang sampai ada Pilkada berikutnya, yang disebut Pilkada Khusus DKI.
Lalu kapan Pilkada Khusus itu?
Kita serahkan kepada KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilihan Umum). Mereka mestinya punya gagasan dan solusi bagaimana mengamankan Jakarta sebagai ibukota NKRI walaupun ada Pilkada.
Mereka yang seharusnya mencari solusi dan tidak sekedar meneruskan Pilkada, demi pelaksanaan sebuah UU. Tanpa berpikir adanya potensi perpecahan bangsa.
Lalu apa alasan mengeliminasi Ahok dan Anies dari Pilkada DKI?
Mereka telah membuat pernyatan-pernyataan yang menyulut kemarahan warga.
Dua-duanya saling menyerang dan menggunakan isu SARA, Padahal penggunaan isu SARA (Suku Agama Ras Antar Golongan) untuk kepentingan apapun, dilarang oleh UU.
Bila perlu Ahok dan Anies dibawa ke pengadilan karena persolan SARA tersebut. Dan kalau bersalah dipenjarakan saja.
Biarlah mereka berdua yang jadi tumbal dalam demokrasi liberal. Asalkan bangsa Indonesia tetap satu. Kita semua bersaudara.
Sederhana dan selesai.
[***]Penulis adalah wartawan senior