Berita

Foto/Net

Cerita Soekarno Berbanding SBY: Antara Proklamator Dan Problemator

JUMAT, 24 MARET 2017 | 07:34 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

INDONESIA termasuk negara unik yang cukup beruntung. Walaupun dari sisi kesejahteraan masih masuk kategori 'negara buntung', tetapi cerita tentang presiden yang pernah memimpin negara ini, cukup banyak yang menarik.

Dari tujuh presiden yang memimpin Indonesia sejak Soekarno hingga Joko Widodo, selalu menyisakan kisah yang tak pernah habis diceritakan.

Saya tertarik membedah cerita tentang Soekarno dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Soekarno atau Bung Karno, Proklamator sekaligus Presiden pertama RI. Sedangkan SBY, Presiden pertama RI yang terpilih melalui pemilihan umum secara langsung.

Saya tidak pernah mengenal Bung Karno secara langsung. Sebaliknya saya mengenal SBY. Ketika sebagai Pemimpin Redaksi RCTI, saya pernah mewawancarainya sebagai Menko Polkam untuk program "Nuansa Pagi". Temanya soal pemberantasan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Kami pernah satu pesawat dalam perjalanan Presiden Megawati ke beberapa negara, di antaranya Amerika. Lagi-lagi SBY sebagai Menko Polkam, saya sebagai wartawan.

SBY dan saya sama-sama duduk di Kelas Bisnis bersama sejumlah Menteri dan anggota parlemen.

Di masa kecil, ketika masih tinggal di kampung kelahiran orangtua, desa Warisa, Minahasa Utara, Manado, Sulawesi Utara, Bung Karno selaku Presiden, pernah melakukan kunjungan ke daerah kelahiranku itu.

Pada kesempatan itu, hanya bisa melihat wajah Bung Karno dalam bentuk bayang-bayang dan itupun hanya dari jauh.

Bung Karno mendarat di Bandara Mapanget, kini berubah nama jadi Sam Ratulang, sekitar 5 kilometer dari desa Warisa.

Sebagai murid Sekolah Rakyat, kini Sekolah Dasar, kami disuruh menyambut kedatangan Bung Karno. Saya sangat bergembira ketika pesawat yang ditumpangi Bung Karno mendarat.

Gemuru mesin pesawatnya begitu kencang yang bagi kami anak-anak sangat memekakan telinga.

Sewaktu Bung Karno melewati barisan kami, yang berjejer di pinggir jalan yang dilaluinya, kami semua berteriak kegirangan. Bendera merah putih mini, yang terbuat dari kertas pembungkus buku, kami kibarkan ke atas.

Beberapa tahun kemudian, saya pindah ke Jakarta. Bung Karno sudah tak menjadi Presieen lagi.

Saya juga tidak sempat bertemu. Selain tidak punya akses, Bung Karno wafat ketika saya baru satu tahun berada di Jakarta.  

Namun entah mengapa rasa bangga saya terhadap Bung Karno, cukup kuat dan tak bisa hilang.

Kebanggaan semakin bertambah setelah membaca sejumlah kutipan literatur, resensi BM Diah, seorang wartawan era Bung Karno yang menjadi pendiri dan penerbit harian "Merdeka".

Termasuk buku tentang Bung Karno seperti "Di Bawah Bendera Revolusi" (DBBR), "Sarinah" dan "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" (BKPLR). Terakhir "The Indonesian Tragedy".

Bacaan di atas sangat mempengaruhi persepsi dan perspektif saya tentang kebangsaan termasuk kebhinekaan yang kini sering didengung-dengungkan dengan istilah baru: pluralisme.

Dalam karir kewartawanan, saya tumbuh dan besar di era Orde Baru, rezim yang menumbangkan Presiden Soekarno.

Tetapi dalam kadar tertentu kekaguman saya terhadap Bung Karno, tidak tergerus. Saya wartawan produk baru yang tetap mengagumi beberapa produk Orde Lama.

Bahkan mungkin saya tidak malu menyebut diri sebagai seorang "Soekarnois" yang tidak serta anti "Soeharto". Bagi saya sebagai generasi lebih muda, bangsa Indonesia wajar dan wajib menghormati kedua Presiden RI tersebut.  

Apa yang membuat saya mengagumi Bung Karno? Banyak.  

Bukunya tentang "Di Bawah Bendera Revolusi" memberi saya semangat dan rasa percaya diri tentang bagaimana menghadapi bangsa kulit putih apakah itu ras Eropa atau Amerika.

Saya tidak melihat aroma keberanian seperti itu masih menyebar di hati sanubari bangsa dan generasi sekarang.

"Sarinah" menyadarkan saya betapa seorang wanita, pembantu yang tidak mengenyam pendidikan formal, namun memiliki ahklak yang luar biasa tinggi.

Proklamator dan Presiden pertama RI tersebut mengaku - dalam soal akhlak atau nilai-nilai positif dari setiap manusia, semuanya ia dapatkan dari Sarinah.

Saya ragu kalau masih banyak pemimpin yang berpikir seperti itu. Terjadinya pelecehan kepada para wanita pembantu, merupakan bukti dari keraguan saya.

Begitu respeknya Bung Karno kepada bekas "baby sitter"-nya itu, sampai-sampai dia menulis buku yang judulnya menggunakan nama "Sarinah".

Selain akhlak, nilai-nilai positif yang diperoleh Bung Karno dari wanita Sarinah adalah kesederhanaan, kejujuran dan ketulusan.

Dengan modal ketulusan, Sarinah merawat Bung Karno sebagai anak seorang majikan.

Bung Karno merasa berhutang budi yang sangat besar kepada Sarinah.

Buku "BPLR" membeberkan potret kepribadian Bung Karno sebagai manusia biasa yang tidak suci-suci amat. Hal yang bisa mempermalukam martabat dirinya, dia ungkapkan dalam buku ini. Dia mau mengaku dan bertanggung jawab atas kelakuannya yang menyimpang.

Di buku "BKPLR" inilah untuk pertama kalinya dia kisahkan alasannya mengapa ia tertarik kepada Inggit Ganarsih, Ibu kostnya di Bandung.

Inggit merupakan wanita yang sudah bersuami dan lebih tua usianya dari Bung Kanro. Tetapi secara seksual, penampilan Inggit sangat menggoda dan menggairahkan. Dan inilah yang membuat Bung Karno 'jatuh', tak bisa tidak mencumbui Inggit. Terutama ketika suami Inggit yang katanya penjudi dan pemabok sedang tak berada di rumah.

Dari cerita Inggit, Bung Karno bercerita semua latar belakang mengapa ia mengawini beberapa wanita lain: Fatmawati, Hartini dan Ratna Sari Dewi.

Yang menarik dari pengakuan Bung Karno, keberanian dan kejujuran tentang "Love Affair" yang sangat mempribadi.

Semua pengakuan tersebut dia sampaikan secara terbuka kepada wartawati Amerika Cindy Adams, di mana saat itu Bung Karno masih menduduki kursi kepresidenan. Dia tidak khawatir citranya rusak.

Saya tidak yakin ada pejabat negara yang berselingkuh, lalu mau mengaku terbuka seperti Bung Karno.  

Dari buku itu pula saya mengerti mengapa Bung Karno menjadi begitu anti terhadap Amerika Serikat.

Bung Karno menjadi sangat anti kepada Amerika, semenjak dia diperlakukan secara tidak bermartabat. Ketika dia disuruh menunggu oleh protokol Gedung Putih di lobi kantor dan kediaman Presiden AS tersebut.

Yang tidak saya baca dalam buku tetapi dalam era internet ini cukup beredar luas di kalangan netizen yaitu sikapnya terhadap inventaris negara atau Istana.

Alkisah, pada tahun 1966 ketika Bung Karno sudah diminta meninggalkan Istana Jakarta secara tidak bersahabat oleh sekelompok pasukan bersenjata, yang pertama kali dia lakukan adalah mencari Guruh Soekarnoputrra, salah seorang anaknya.

Ia memberi peringatan agar jangan sampai ada barang milik negara yang diambil dan dibawa keluar dari Istana. Di antaranya lukisan.

Kisah lama Bung Karno ini membangunkan ingatan saya ke ceritera inventaris negara. Kali ini yang sedang menjadi pemberitaan luas oleh media-media. Yaitu soal Mercedes Anti Peluru milik negara.

Mobil ini untuk VVIP, yang selama dua tahun diam-diam dipinjam oleh SBY walaupun SBY sudah tidak lagi menjadi Presiden.

Cerita SBY dan Bung Karno sebagai sama-sama Presiden, saya hubung-hubungkan sekedar untuk sebuah kejernihan permasalahan.

Sebab kesan yang muncul adalah adanya kontradiktif. Tetapi karena soal gengsi dan ketidakjujuran lalu bermunculanlah pernyataan yang membingungkan.

Kontradiksi sudah terjadi, tetapi semua berpura-pura tidak merasa demikian.

Kontradiksi pernyataan berawal dari pernyataan Sekretaris Kepala Staf Presiden Djumala.

Menurut bekas Dubes RI di Polandia ini - maaf kalau keliru, bahwa sesuai UU, jatah mobil bagi mantan Presiden adalah sedan Toyota jenis Camry!

Tapi SBY mengaku bahwa pemakaian mobil VVIP itu sesuai UU dan prosedur.

SBY juga mengaku mobil itu diantarkan sendiri -  tidak disebutkan oleh siapa, ke rumahnya. Sementara Djumala menegaskan pemakaian mobil anti peluru itu hanya didasarkan pada permintaan lisan. Dan seterusnya.

Maaf beribu maaf - kekaguman saya terhadap Bung Karno tokoh yang sudah lama meninggal dunia justru semakin bertambah. Gara-gara kontradiksi dalam soal inventaris negara.

Pasalnya, Soekarno rela keluar dari Istana, tanpa membawa barang. Soekarno sebagai pendiri bangsa, terusir secara tak bermartabat.

Soekarno, ketika terusir, dalam keadaan miskin. Tapi dia tetap tidak minta dikasihani. Dia tidak melakukan upaua apa-apa agar negara bisa meminjami kendaraan ataupun jenis fasilitas lainnya.

Bagi dia menjadi pendiri bangsa dan NKRI merupakan panggilan dan pengabdian. Bukan sebuah kontrak bisnis.

SBY? Hmmmm saya belum punya bahan untuk dituliskan di sini.

Walaupun demikian, saya tidak menyalahkan SBY dan membela mati-matian Bung Karno.

Karena situasi Indonesia ketika dipimpin Bung Karno, sangat berbeda dengan ketika di era SBY.

Selain itu yang 'memperkeruh' suasana sebetulnya adalah Staf Kepresidenan.

Sebab yang dipersepsikan oleh Staf Kepresidenan, SBY sebetulnya menggunakan Mercedes anti-peluru itu, dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah UU dan prosedur.

Konsisten dengan sikap itu, bahwa saya tidak menyalahkan SBY sebagai pemimpin, saya ingin singgung soal inventaris negara lainnya.

Salah seorang Menteri SBY ketik  mengakhiri masa bhaktinya, dilaporkan mengangkut sejumlah inventaris milik Kementerian.

Mantan menteri ini, kebetulan saya kenal baik. Dari wajahnya, saya yakin dia orang yang baik.

Nampaknya dia melakukan pengambilan inventaris negara, mungkin karena dia belum sempat membaca referensi tentang Presiden Soekarno.

Yang dia baca barangkali hanya buku-buku Pak SBY.

Jelas beda. Buku tentang Bung Karno dan SBY, tidak sama dari segala-galanya.

Bung Karno jelas merupakan seorang Proklamator.

Secara subyektif saya berani katakan Proklamator itu berbeda banget dengan seorang Problemator. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Tulisan 'Adili Jokowi' Curahan Ekspresi Bukan Vandalisme

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:36

Prabowo Harus Mintai Pertanggungjawaban Jokowi terkait IKN

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:26

Penerapan Dominus Litis Melemahkan Polri

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:03

Rontok di Pengadilan, Kuasa Hukum Hasto Sebut KPK Hanya Daur Ulang Cerita Lama

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:40

Senator Daud Yordan Siap Naik Ring Lagi

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:17

Penasihat Hukum Sekjen PDIP Bongkar Kesewenang-wenangan Penyidik KPK

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:53

Lewat Rumah Aspirasi, Legislator PSI Kota Tangerang Ajak Warga Sampaikan Unek-Unek

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:36

Ekonomi Daerah Berpotensi Merosot akibat Sri Mulyani Pangkas Dana TKD

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:15

Saat yang Tepat Bagi Prabowo Fokus MBG dan Setop IKN

Minggu, 09 Februari 2025 | 04:57

7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat Menuju Indonesia Emas

Minggu, 09 Februari 2025 | 04:42

Selengkapnya