Sri Bintang Pamungkas/net
Rumah milik mantan seorang menteri di Jalan Guntur No 49, Tebet, Jakarta Selatan, bukanlah tempat asing bagi Sri Bintang Pamungkas (SBP). Sejak 12 tahun terakhir, tersangka kasus dugaan pemufakatan makar itu, kerap berdiskusi dengan rekan sejawatnya.
Begitu juga saat SBP menyambangi rumah yang dikenal sebagai Pusat Dokumentasi Politik (Pusdokpol) Guntur 49, Jakarta, Senin (20/3).
Pria kelahiran Tulungagung itu, tiba di Rumah Guntur 49 sekira pukul 14.45 WIB. Penahanan selama ratusan hari di rumah tahanan narkoba Polda Metro Jaya (PMJ) tidak membuat kakek berusia 72 tahun itu ringkih.
SBP pun langsung duduk di teras depan, bersiap berdiskusi dengan sahabatnya. Sambil menyantap mie instant ditemani dua rekannya, Mona Panggabean dan Doli Yatim, mantan aktovis 98 itu berkisah.
Proses penahanan dirinya yang janggal, menjadi salah satu curahan hati (curhat) dosen fakultas teknik Universitas Indonesia tersebut.
"Saya melihat proses hukum ini (dirinya), melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Ini penahanan yang janggal," ungkap pemilik gelar doktor bidang teknik dari Iowa State University itu mengawali curhatnya.
Menurutnya, penahan selama satu jam saja, dapat dikategorikan pelanggaran HAM. Apalagi jika ditahan selama 103 hari. Seperti yang dialaminya, sejak ditangkap enam anggota Brimobda Metro Jaya, 2 Desember (212) 2016 lalu.
"Satu jam saja, sudah melanggar HAM. Saya ditahan 103 hari. Jatah dari PMJ, hanya 60 hari. Dari situ saja, sudah melanggar (HAM)," sesal suami dari Ernawati Bintang itu.
Penahanan tersebut, dialami SBP setelah diduga terlibat kasus pemufakatan makar oleh sembilan tersangka lainnya, jelang aksi damai 212 atau Bela Islam Jilid III.
Kasus sangkaan makar itu, pernah menjebloskan SBP ke bui tahun 1997 silam. Saat itu, SBP mendekam di penjara selama satu tahun 20 hari sejak Mei 1997. Alasan Soeharto, presiden RI kala itu, SBP terlalu frontal dengan pemerintahannya.
Bahkan, SBP dianggap subversif dan melanggar Undang-undang Anti Subversif. Ditandai dengan pembentukan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) pada Mei 1996.
Lalu, seperti apa pandangan SBP terhadap dugaan pemufakatan makar yang dituduhkan polisi terhadapnya saat ini?
SBP mengatakan, tuduhan kasus dugaan pemufakatan makar terhadap dirinya tidak dapat dibuktikan dan tidak sah. Bahkan,sejak awal SBP bersikeras menolak, saat dimintai keterangan oleh polisi terkait Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Tidak ada yang perlu saya terangkan. Saya tidak bersalah. Makar itu tidak terbukti, tuduhan palsu. Jadi, penangkapan saya tidak sah," pungkasnya.
Seperti diketahui, saat ini SBP berstatus sebagai tahanan kota. Status tersebut didapatnya, setelah permohonan penangguhan penahanam dikabulkan penyidik PMJ, 15 Maret lalu.
Meski demikian, pihak kepolisian menegaskan tetap akan menindaklanjuti proses hukum terhadap SBP. Padahal, sebelumnya berkas perkara yang dianggap rampung, beberapa kali bolak balik kantor PMJ - Kejaksaan Tinggi DKI, karena dinyatakan belum lengkap.
[san]