Kementerian ESDM diminta lebih berani memberikan perlakuan khusus, seperti penyusunan daftar hitam (blacklist) perusahaan dan pencabutan izin usaha serta penegakan hukum pengusaha bermasalah.
Bermasalah, maksudnya adalah pelaku usaha sektor perÂtambangan mineral dan batubara (minerba) yang tidak mau meluÂnasi kewajiban tunggakan utang penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Hal ini dinyatakan Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah. Langkah ini, ujarnya, sebagai dukungan terhadap langkah Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian ESDM.
Pelaku usaha tambang yang tidak patuh dan 'membandel', lanjut Maryati, harus diberikan sanksi tegas sekaligus dimasukÂkan ke daftar hitam. "Skema blacklist bisa didorong melalui koordinasi, serta kerja sama dan pertukaran informasi dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan HAM untuk mengeÂtahui siapa legal owner dari usaha pertambangan tersebut," katanya.
Di sektor migas, SKK Migas telah memulai melakukan kerjasama pertukaran informasi denÂgan Dirjen AHU. Hal ini bagus untuk dicontoh di sektor Minerba, dimana mereka yang telah di-blacklist harus ditembuskan kepada aparat penegak hukum, juga institusi regulator keuangan serta perbankan agar ditindak dan menjadi catatan khusus bagi dunia perbankan dan keuanÂgan untuk memberikan akses modal.
PWYP Indonesia juga mengapresiasi proses penyelesaian piutang yang tengah berlangÂsung, data tunggakan tersebut berkurang dari yang sebelumnya mencapai Rp 26 triliun.
"Koordinasi dan supervisi (Korsup) Minerba yang diinisiasi oleh KPK bersama Kementerian ESDM telah berjalan lebih dari 3 tahun dan mengungkapkan banÂyak hal, termasuk soal sengkarut kepatuhan dalam kewajiban keuangan pelaku usaha, salah satunya mengenai tunggakan PNBP ini," ujar Maryati.
Peneliti Tata Kelola Minerba PWYP Indonesia, Agung Budiono mengungkapkan, potensi terbesar piutang tak dapat tertagih sangat besar angkanya mencapai Rp 3,9 triliun yang berasal dari pemilik Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang menunggak. Terutama yang belum mengantongi sertifikat
Clean and Clear (CNC) yang jumlahÂnya mencapai 3.000-an izin.
Dia menilai, ancaman deadÂline bisa jadi belum menjamin para penunggak akan lekas membayar. Karena itu, upaya penegakan hukum sesuai dengan UU no. 20 tahun 1997 tentang PNBP perlu ditempuh untuk menimbulkan efek jera bagi perusahaan penunggak.
"Tanpa adanya tindakan tegas dari pemerintah, permasalahan ini akan kembali berulang dan daerah selaku penerima manfaat PNBP akan terus dirugikan," katanya.
Seperti diketahui, Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Jonson Pakpahan, menuturkan per-Februari 2017 total tunggakan PNBP dari pelaku usaha pertambangan ditaksir mencapai sekitar Rp 5,072 triliun.
Piutang tersebut dikontribusiÂkan dari berbagai jenis rezim perÂizinan, yaitu piutang dari ribuan pelaku usaha IUP sekitar Rp 3,949 triliun, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) sekitar Rp 1,101 triliun dan Kontrak Karya (KK) sekitar Rp 20,636 milyar.
Pemerintah saat ini telah memÂberikan tenggat waktu penyeleÂsaian piutang PNBP tersebut palÂing lambat 31 Maret 2017. Ditjen Minerba juga telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Piutang PNBP ke seluruh Gubernur di Indonesia. ***