Budiman Sudjatmiko merupakan salah satu anggota Komisi II DPR yang ikut dalam pembahasan proyek e-KTP. Politisi PDIP ini malah penasaran. Dia pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa dirinya.
Budiman mengaku pernah mendengar kabar bagi-bagi uang dalam dugaan korupsi proyek e-KTP yang menyeret puluhan anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa eks pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Memang pernah ada yang memberi tahu saya kalau itu soal e-KTP ada uang untuk setiap anggota. Saya jawab ke orang itu, saya tidak tertarik. Lalu suÂdah tak ada pembicaraan lagi," cerita eks aktivis pergerakan ini kepada wartawan, kemarin malam.
Peristiwa itu, seingat Budiman terjadi antara 2011 dan 2012. Saat itu, pembahasan proyek e-KTP di DPR sedang memanas. Di awal-awal, fraksi-fraksi di DPR mengkritisi proyek tersebut, termasuk Demokrat dan Golkar yang saat itu masuk dalam partai koalisi pemerintah.
Sayangnya, Budiman meraÂhasiakan sosok orang yang pernah memberi tahu dirinya mengenai selentingan bagi-bagi duit tersebut. Dia meÂmastikan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat. Dia pun siap dikonfrontir jika ada pihak-pihak yang mau menyeret namanya dalam pusaran kasus korupsi tersebut. Dia memastikan siap jika KPK mau memeriksa dirinya.
"Ini bukan menantang KPK ya, justru saya ingin membantu KPK. Jika dibutuhkan ingin menanyakan sesuatu. Selama ini kan saya tidak pernah dipanggil KPK soal kasus korupsi e-KTP," ucapnya.
Meski sempat mendengar rumor, Budiman mengaku tidak melihat langsung adanya prakÂtik bagi-bagi uang seperti yang beredar selama ini. Dia pun berharap KPK mengkonfronÂtasi seluruh anggota Komisi II periode itu dengan pihak-pihak yang mengklaim memberikan uang. Konfrontasi itu dianggap perlu untuk memperkuat posisi orang-orang yang tidak ikut terÂlibat pada kasus tersebut.
"Ini demi menegakkan keadiÂlan dan menghindari fitnah. Saya meminta KPK untuk memeriksa semua anggota Komisi II DPR periode 2009-2014, tentu saja termasuk saya untuk melakukan konfrontir langsung," tegasnya.
Percayakan ke KPKDalam kesempatan terpiÂsah, anggota Komisi II DPR Rahmat Hamka menegaskan tidak setuju dengan wacana penggunaan hak angket dalam mengusut kasus e-KTP seperti yang dilontarkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Rahmat merasa, kasus dugaan koruspi ini merupakan domain KPK. Karena itu, DPR tidak perlu ikut-ikutan mengusutnya.
"Percayakan saja proses hukum yang telah berjalan. Biarkan KPK bekerja secara profesional," ujar politisi muda PDIP ini.
Hanya saja, Rahmat meminta KPK lebih peka dan tahu konÂdisi prosikologis masyarakat. Sebab, saat ini masyarakat akan langsung memandang buruk terÂhadap orang-orang yang pernah dipanggil KPK. Orang tersebut langsung dianggap koruptor, meski sebenarnya bisa saja hanya sekadar saksi.
"KPK harus lebih peka juga. Karena, mengikuti proses hukum di KPK cukup berat. Jangankan masuk dalam dakwaan, sebagai saksi saja sudah dapat pandangan yang apriori dari masyarakat," ucapnya.
Karena itu, Rahmat meminta, ke depannya KPK harus lebih memerhatikan hal tersebut. Sebab, bisa saja kemudian pemanggilan oleh KPK itu dipolitisasi pihak-pihak terÂtentu yang ingin menjatuhkan seseorang. "Ini harus diperhaÂtikan agar tidak mudah dipoliÂtisasi. Kalau KPK, kita percaya murni penegakan hukum," tanÂdasnya. ***