Bung Karno pernah mengatakan rakyat Indonesia "jangan menjadi bangsa tempe". Pesan tersebut mengajarkan kepada anak bangsa untuk tidak boleh menjadi bangsa murahan, bersikap rendah diri dan terbelakang.
Peringatan proklamator Indonesia tersebut kini sudah mulai terkikis bahkan terabaikan. Itu terbukti dari kasus berjamaah korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Selain dua terdakwa, mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, kasus e-KTP yang merugikan uang negara sebesar Rp. 2.3 triliun tersebut, diduga melibatkan petinggi Kemendagri dan anggota DPR periode 2009-2014, hingga pengusaha.
Mereka yang disebut dalam dakwaan penerima
fee proyek e-KTP adalah, Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan, Husni Fahmi, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, Mirwan Amir, Ignatius Mulyono, Taufiq Effendi, M. Jafar Hafsah, Khatibul Umam Wiranu, Melcias Marchus Mekeng, Chaeruman Harahap, Agun Gunanjar Sudarsa, Mustokoweni, Markus Nari, Ade Komarudin.
Selanjutnya, Olly Dondokambey, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly, Tamsil Linrung, Jazuli Juwaini, Teguh Juwarno, Miryam S Haryani, Djamal Aziz, Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, dan 37 anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 lainnya.
Dari 37 nama itu, diduga Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok masuk di dalamnya. Saat itu, Ahok masih menjabat anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani skandal korupsi e-KTP ini harus benar-benar mengusutnya tuntas hingga ke akar-akarnnya.
KPK harus berani melawan stigma "hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah". Kemudian, lembaga pimpinan Agus Rahardjo itu harus bisa membuktikan tudingan kalau KPK hanya gemar dan lincah menangani kasus operasi tangkap tangan (OOT) saja.
Dan bagi oknum yang sudah mengembalikan dan ingin mengembalikan duit
fee proyek e-KTP, oleh KPK harus tetap menjerat mereka. Pasalnya, tindakan mengembalikan uang hasil korupsi tidak bisa menggugurkan proses hukumnya.
Proses hukum kasus e-KTP harus tetap jalan, karena niat untuk melakukan korupsi sudah terbukti dengan menerima uang tersebut.
Dari skandal korupsi e-KTP ini ada beberapa hal penting untuk dicatat dan harus menjadi perhatian serius.
Pertama, Presiden Joko Widodo harus memberi perhatian guna pengungkapan praktik korupsi e-KTP, sekaligus menghentikan rencana revisi UU KPK yang disebut-sebut akan melemahkan lembaga antirasuah itu.
Kedua, Kemendagri harus memastikan bahwa korupsi proyek e-KTP tidak berpengaruh terhadap pelayanan publik dalam sistem identitas kependudukan tunggal, e-KTP.
Ketiga, KPK harus memanggil dan memeriksa semua nama yang masuk dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Dan tidak kalah penting, KPK harus menargetkan penyelesaian kasus e-KTP, agar teka-teki kasus ini segera terjawab.
Keempat, semua pihak khususnya DPR harus mendukung pengungkapan mega skandal kasus e-KTP. Dan bila dianggap perlu, DPR bisa membentuk Panitia Khusus untuk mengawasi pelaksanaan pengadaan e-KTP.
Kelima, Pengadilan Tipikor harus memberikan sanksi berat terhadap pelaku korupsi e-KTP. Selain mereka adalah pajabat publik, nilai yang di-
markup juga tergolong besar, ditambah mereka telah merenggut hak publik untuk memiliki e-KTP.
Sedih memang, kasus korupsi yang diduga melibatkan "orang-orang penting" membuat proyek e-KTP terbengkalai.
Proyek tahun 2010 ini hingga sekarang belum tuntas. Masih banyak warna negara yang belum mengantongi fisik e-KTP, karena blangko e-KTP yang belum tersedia.
[rus]