Jelang putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, Wakil Ketua Dewan PaÂkar Partai Gokar Titiek Soeharto bermanuver. Dia menggelar perÂtemuan dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, cagub-cawagub DKI Jakarta yang menjadi pesaing jago partainya, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.
Pertemun itu menyulut kontroversi di internal Golkar. Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar DKI Jakarta sampai mengÂgelar rapat pleno membahas pertemuan Titiek Soeharto. Hasilnya memang tidak signifiÂkan. DPD DKI Jakarta menyÂerahkan perkara Titik Soharto kepada DPP Partai Golkar.
Lantas bagaimana pengurus DPP Partai Golkar menyikapi manuver Titik Soeharto? Berikut penuturan Ketua bidang Politik Hukum dan Keamanan DPP Partai Golkar Yorrys Raweyai;
Bagaimana anda menilai manuver Titik Soeharto yang memberikan dukungan ke pasangan cagub-cawagub nomor 3 Anies-Sandi? Kalau secara pribadi itu hak. Saya dengar beberapa kali Mbak Titiek dukung Anies, ada yang bertanya kepada saya. Terus kenapa, boleh saja dong secara pribadi, tapi memang tidak boleh kalau bawa nama partai. Dan dia (Titiek) juga tidak pernah menÂgatasnamakan partai kan.
Jadi manuver Titik Soeharto itu bukan termasuk pelanggaÂran? Kalau di Partai Golkar tuh beÂgini, sepanjang kalau anda mau secara pribadi (mendukung, red) itu hak. Tetapi tidak boleh pada saat acara-acara formal memakai dan mengatasnamakan partai. Itu tidak boleh. Karena itu sudah menjadi keputusan. Jadi keluar tidak apa-apa. Tapi kalau misalÂnya ada kampanye, terus anda pakai baju kuning Golkar, terus anda tahu pakai baju Golkar terus mendukung pasangan lain, nah itu yang tidak boleh.
Memang kenapa kalau ketaÂhuan memakai atribut partai saat memberikan dukungan ke pasangan lain?Itu akan kena sanksi.
Sudah pernah ada kader Golkar seperti itu? Contohnya kayak Fadel Muhammad. Dia itu kan kampanye untuk istrinya dan itu harus kena sanksi. tu harus, ada keÂtentuannya. Kalau nggak ya suka-suka aja. Fadel itu kena sanksi. Saya teman baik sama dia, saya sudah kasih tahu sama dia kalau ini (memberikan duÂkungan dengan atribut partai) tidak bisa. Dia kan dukung istrinya, kemudian pakai sarana PDIP setiap kampanye.
Sanksinya apa? Kita sudah kasih dia peringatan dengan copot dia dari Sekretaris Dewan Pertimbangan Partai Golkar. Ternyata dia tidak mengÂindahkan, bahkan kampanye-kampanye terus lagi. Sehingga harus kena sanksi. Harus ada pilihan, kalau nggak partainya hancur nanti.
Oh ya di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta Golkar masih tetap dukung Ahok-Djarot atau beralih dukung Anies-Sandi seperti Titik Soeharto? Jadi begini, kita mesti tahu. Kalau anda sudah komitmen, masa pindah di tengah-tengah jalan. Saya juga yakin kalau dia (Ahok) pasti akan menang. Pasti itu. Kenapa saya harus bicara seperti itu (pindah ke pasangan calon lainnya)
Tapi pasca putaran pertama Pilkada DKI partai pendukung Anies-Sandi berpotensi bakal bertambah lho, karena partai-partai pendukung Agus-Sylvi merapat. Apa Golkar tidak tertarik mengikuti? (Soal fenomena migrasi duÂkungan partai dari calon satu ke calon lainnya) biasa itu. Saya ambil contoh saja. Anda bisa lihat koalisi-koalisi dalam persoalan-persoalan pilkada. Kita lihat dari koalisi, demokrasi modern itu bukan demokrasi yang diakomodasi dari simbol-simbol, itu tidak ada.
Memang politik saat ini seperti apa? Sekarang tuh partisipatif, baÂgaimana anda mampu melakuÂkan gerakan melalui media soÂsial, menggerakkan masyarakat, partisipasi saja.
Jadi sudah tidak bisa itu forÂmalistik segala macam, sekarang itu bebas pilih. Dulu memang bisa, tapi sekarang sudah tidak bisa. Simbol-simbol sudah tidak ada.
Anda yakin Ahok bisa meÂnang di putaran kedua? Saya karena kerja dan saya tahu sampai di mana melakukan kegiatan itu, makanya saya tahu pasti Ahok. ***