MUNCULNYA konflik antara CEO Freeport McMoran, Richard Adkinson dengan pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri ESDM Ignasius Jonan, cukup mengejutkan, mengandung sejumlah keanehan dan menyisakan beberapa pertanyaan.
Mengejutkan, sebab konflik di penghujung tahun 2015, dalam perusahaan tambang ini sudah diawali oleh heboh "Papa Minta Saham".
Kisahnya seperti sebuah cerita populer. Dalam waktu singkat cepat menarik perhatian publik, tetapi demikian cepat pula ia menghilang dari pembicaraan masyarakat.
Kasus "Papa Minta Saham" itu sendiri diletupkan oleh Sudirman Said, Menteri ESDM yang lama - pada 16 Nopember 2015.
Kasus ini menempatkan Setya Novanto, politisi Golkar sekaligus Ketua DPR-RI saat itu sebagai figur sentral.
Novanto disebut-sebut meminta saham kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan mengatasnamakan atau menjual nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Figur lain setelah Novanto adalah Jenderal Luhut Binsar Panjaitan. Ketika itu, Luhut disebut-sebut orang yang sangat dipercaya Presiden Joko Widodo. Luhut baru pindah posisi dari Kepala Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam.
Setyo Novanto bersama Luhut Panjaitan secara implisit disebut Menteri Sudirman Said sebagai pihak yang mendesak PTFI agar memberi saham 'gratis' kepada pemerintah Indonesia.
PTFI ketika itu diwakili Presiden Direkturnya Marsekal Maroef Sjamsoeddin.
Tenggelamnya kasus "Papa Mina Saham" membuat cerita yang berkaitan dengan PTFI pun berhenti.
Tapi di bulan Pebruari 2017 ini, publik yang sebetulnya sudah lupa akan kasus "Papa Minta Saham", tiba-tiba dibangunkan atau diingatkan kembali.
Adalah Ignasius Jonan, Menteri ESDM yang membangunkan publik.
Jonan yang sebelumnya sempat tersingkir dari kabinet - sebagai Menteri Perhubungan, membuat pernyataan mengejutkan. Sekaligus seperti mengirim pesan baru. Bahwa pemerintah siap menerapkan peraturan baru dalam kerja sama bisnis dengan PTFI.
Dan kalau PTFI menolak, pemerintah siap bertarung di pengadilan internasional.
Langkah Jonan seperti mengulangi peran Sudirman Said, walaupun dalam konteks yang berbeda. Kegaduhan di PTFI berulang.
Menteri Jonan seperti mengajak publik untuk mengikuti cerita atau babak baru tentang Freeport.
Disebut mengandung sejumlah keanehan. Sebab Sudirman Said yang tadinya dianggap pahlawan, karena perannya dalam mengungkap "Papa Minta Saham", di akhir kisah, justru menjadi pecundang.
Said yang sempat dipersepsikan sebagai Menteri jujur dan berintegritas, tak lama kemudian tersingkir dari kabinet.
Memang tidak jelas apakah tersingkirnya Sudirman Said dari kabinet pada 27 Juli 2016, akibat persoalan "Papa Minta Saham" atau oleh faktor lain.
Yang pasti Setya Novanto, politisi Golkar yang dia tuding sebagai pihak yang meminta saham, walaupun sempat terpelanting, akhirnya bisa kembali ke kursi kekuasaan.
Luhut Panjaitan yang juga dikaitkannya sebagai pihak yang bersahabat dengan Setya Novanto dalam manuver permintaan saham, sempat terimbas. Tetapi pada akhirnya Luhut tetap berada dalam posisi aman.
Nasib Setyo Novanto dan Luhut Panjaitan, nampaknya lebih baik.
Masih soal Setyo Novanto. Setelah diserang Sudirman Said, pada 16 Desember 2015 ia mengundurkan diri dari posisi Ketua DPR-RI.
Tapi hanya sebelas bulan, tepatnya pada 30 Nopember 2016, Setyo Novanto kembali menduduki posisi yang ditingalkannya itu. Jelas kisah Novanto yagng berhasil merebut kembali posisi Ketua DPR-RI, bukanlah manuver politik yang abal-abal.
Dan cerita Setyo Novanto yang mengandung kejutan, tidak berhenti di situ.
Sebelum kembali menjadi Ketua DPR-RI, Novanto bertarung di Munas Luas Biasa Partai Golkar. Hasilnya pada 17 Juli 2016 ia terpilih sebagai Ketua Umum DPP Golkar.
Padahal sebelumnya, Novanto sempat didegradasi oleh Golkar.
Oleh Ketua Umum DPP Golkar ketika itu - Aburizal Bakrie, menurunkannya ke posisi Ketua Fraksi DPR-RI.
Dari segi keprotokoleran, perubahan posisi Setyo Novanto tersebut sama dengan sebuah penelanjangan semua atribut bergengsi yang diberikan negara.
Tapi ketika Novanto terpilih menjadi Ketua Umum DPP Golkar di Munas Luar Biasa di Bali, yang disingkirkannya seorang Ade Komarudin, kader binaan Aburizal Bakrie.
Sehingga penelanjangan tadi, terkompensasi.
Ditambah lagi, Ade Komaruddin yang dia kalahkan, merupakan politisi Golkar yang menggantikannya di kursi DPR-RI Satu.
Kompensasi secara politik itu semakin menebal. Mengingat kesempatan Setyo Novanto menjadi Ketua DPR-RI sebelumnya, berkat disposisi Aburizal Bakrie. Sementara ketika terpilih menjadi Ketua Umum Golkar. Setyo Novanto menggantikan Aburizal Bakrie.
Dari kisah Ketua Umum DPP Golkar dan Ketua DPR-RI, Novanto boleh dibilang mencetak rekor politik tersendiri. Novanto mendapatkan kedudukan itu nyaris tanpa berkeringat apalagi berdarah-darah.
Dia satu-satunya politisi Golkar yang sejak awal tidak kelihatan ambisius, tetapi bisa mendapatkan posisi-posisi politik penting di dalam maupun luar Golkar. Posisi-posisi itu sendiri diperebutkan secara ketat oleh sejumlah politisi. Tapi dia yang menang mudah.
Konflik pemerintah dengan Freeport saat ini mau tidak mau harus disebut mengandung sejumlah keanehan.
Karena sewaktu kasus "Papa Minta Saham" ramai dipersoalkan, Presiden Direktur PTFI Marsekal Maroef Sjamsoeddin menjadi tokoh cukup penting. Terutama karena dialah yang mendukung apa yang diungkapkan Sudirman Said.
Dukungan Presdir PTFI itu terlihat dari caranya memberi kesaksian di Badan Kehormatan DPR-RI, saat badan tersebut menyidangkan kasus "Papa Minta Saham".
Kalau suasana di persidangan Badan Kehormatan DPR-RI yang dijadikan ukuran - dimana peristiwanya disiarkan langsung oleh beberapa jaringan TV, citra Setyo Novanto sungguh buruk.
Ada yang memperkirakan karir politik Setya Novanto sudah atau akan tamat. Nyatanya tidak.
Perkiraan serupa juga terjadi pada Luhut Panjaitan. Imbas kontra produktif kasus Setya Novanto menyentuh Luhut Panjaitan.
Ketika itu Luhut baru saja melepas jabatan Kepala Staf Kepresidenan dan pindah ke Menko Polhukam. Ada juga yang berspekulasi karir politik Luhut ikut tamat, minimal tergerus. Nyatanya, juga tidak.
Maroef Sjamasoeddin yang justru tergerus, Ia tiba-tiba dilaporkan mengundurkan diri dari jabatan Presdir PTIFI. Pengunduran dirinya akhirnya membuat kasus "Papa Minta Saham", ibarat cahaya, meredup sampai padam.
Sebaliknya setelah heboh "Papa Minta Saham", tak lagi kedengaran, bintang Luhut Panjaitan yang justru bersinar.
Luhut berpindah beberapa jabatan. Pernah menjadi Plt Menteri ESDM sebelum menduduki posisi saat ini sebagai Menko Kemaritiman. Luhut lah satu-satunya Menteri yang diberi kepercayaan merangkap beberapa jabatan.
Bukti bahwa Luhut cukup atau sangat dipercaya oleh Presiden Joko Widodo.
Jadi hasil yang dialami Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin, berbanding terbalik.
Di sisi lain, sesudah kasus "Papa Minta Saham" tak terdengar, Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang sempat dikutip pers ikut marah kepada Setyo Novanto, berubah. Mereka berdua terkesan sudah berdamai dengan Setya Novanto.
PTFI sendiri, semenjak pengunduran diri Maroef Sjamsoeddin, melakukan beberapa kali pergantian Presiden Direktur. Sesuatu yang bagi orang luar cukup aneh, mengingat PTFI bukanlah perusahaan yang setara dengan sebuah "CV" atau "Firma", perusahaan yang pemegang sahamnya hanya satu orang dan berkategori UKM.
Yang terbaru, Chappy Hakim, mantan KSAU. Hanya sebulan menjabat Presdir PTFI, sudah mengundurkan diri . Alasannya tidak jelas.
Pertanyaan yang menarik adalah mengapa jabatan Presdir di PTFI - belakangan menjadi tak bergengsi ? Gampang diberikan, gampang pula dicabut.
Mengapa belakangan ini yang dijadikan Presdir, para putera Indonesia dari kalangan militer dengan ranking jenderal.
Tapi jabatan mereka hanya berdurasi singkat. Seolah mereka hanya jenderal "karbitan".
Pertanyaan lainnya, mengapa perubahan posisi Presdir di PTFI itu disambut pemerintah dengan mengubah status kerja sama Freeport?
Perjanjian yang tadinya didasarkan pada Kontrak Kerjasama, berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Juga mengapa pemerintah minta diberi saham 51% ? Apa alasan dan ratio yang digunakan untuk menemukan angka tersebut ?
Walaupun perubahan sikap itu merupakan sebuah keputusan yang dimaksudkan memperkuat posisi Indonesia, tetapi perubahan itu seakan dilakukan dengan pendekatan kekuasaan serta tidak profesional.
Pertanyaannya, mengapa cara pendekatan dengan dasar kekuasaan tersebut baru dilakukan sekarang?
Mengapa perubahan itu dilakukan ketika posisi tawar pemerntah di dalam negeri, relatif tak begitu kuat . Saat Jokowi dihantam dengan isu pelengseran ?
Jadi perubahan itu - sekalipun dari segi martabat patut didukung oleh seluruh komponen bangsa, namun berhubung caranya tidak elegan, menimbulkan dampak yang bersifat destruktif.
Dan yang paling menonjol adalah terlihatnya akan sikap inkonsistensi.
Sebab jika pemerintah konsisten, tak akan ada negosiasi dengan Freeport hingga kerja sama itu berakhir 2021.
Seperti berkali-kali dikatakan oleh Menteri Luhut Panjaitan, Indonesia tak akan memperpanjang kontrak.
Dengan sikap itu, ongkos peralihan kepemilikan atas Freeport menjadi murah bahkan bisa jadi "costfree".
Sebab begitu kontrak selesai, kepemilikan atas PTFI seratus prosen berada di tangan Indonesia.
Dan itu berarti selama 4 tahun ke depan, tak perlu ada sengketa, konflik apalagi peluang kalah di Arbitrasi Internasional.
Inilah yang menjadi pemicu dan alasan untuk mengatakan, dalam menangani masalah Freeport, tiba-tiba kita dikejutkan oleh kehadiran seorang Jenderal "Naga Bonar".
Sesuai cerita film yang diproduksi 1987 tersebut, Naga Bonar tak lebih dari seorang bekas tukang copet di Medan.
Tapi keadaan darurat membawanya sebagai Komandan yang harus memimpin sekelompok pasukan yang tidak terlatih melawan pasukan asing (Belanda).
Jenderal Naga Bonar diperankan Deddy Mizwar yang saat ini menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat.
Sementara artis wanitanya dilakoni oleh Nurul Arifin, yang kini menjadi Jurubicara Setya Novanto.
Akhir ceritanya, silahkan tonton videonya dan simpulkan sendiri apakah kasus "Freeport" bisa berakhir seperti tragedi "Naga Bonar".
[***]
Penulis adalah Wartawan Senior