ADA pendapat lama yang kembali disebarkan dan menyebar secara luas bahwa jika Indonesia mendepak "Freeport" dari bumi Papua, maka Amerika Serikat akan memanfaatkan situasi tersebut untuk memecah Indonesia.
AS diperhitungkan akan mendukung gerakan Papua Merdeka di tanah Papua tersebut sehingga pada akhirnya NKRI akan terpecah. NKRI tidak lagi sebuah wilayah yang terdiri wilayah yang membentang dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua).
Skenario lain, kalau perusahaan tambang AS itu disingkirkan dari Indonesia, maka yang bakal menanggung resiko adalah Presiden Joko Widodo. Kelompok oposisi di dalam negeri yang memang berkehendak menjatuhkan bekas Walikota Solo itu di tengah jalan, pada akhirnya menemukan momentum. Riwayat Joko Widodo sebagai Presiden RI tamat.
Karena kemungkinan yang terjadi kekuatan oposisi mendapatkan bantuan tak terlihat dengan mata dari jaringan yang disponsori AS.
Freeport, harus dilihat sebagai wajah dan representasi AS di Indonesia.
Skenario lain, gara-gara bisnis tambang di Pulau Papua, dimana Presiden RI menolak kehadiran perusahaan AS, Freeport, maka Indonesia, akan dijadikan seperti Syria.
Presiden Joko Widodo akan dimusuhi seperti Presiden Bashar Al-Assad. Jakarta atau wilayah lain di Indonesia yang sensitif, mungkin akan dijadikan "Allepo Kedua".
Pemerintah AS yang mendapat pendanaan dari konglomeratnya, akan memberi bantuan senjata dan finansil kepada oposisi di Indonesia - tak peduli dari kelompok mana, asalkan Indonesia kacau. Terjadi Perang Saudara. Pengalaman Syria berulang di Indonesia.
Hingga akhir tahun 2016, saya termasuk yang percaya bahwa keadaan berpotensi buruk seperti itu, bakal dialami Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia harus hati-hati dan perlu bersikap baik terhadap AS.
Eksistensi Freeport di tanah Papua, jangan pernah diganggu. Apalagi (mantan) Dubes AS untuk Indonesia Robert Blake, tahun lalu sudah melakukan "survei" ke Papua.
Sewaktu di Papua, Blake bertemu hampir semua tokoh Papua yang berafiliasi dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Saya sempat berpikir, pecahnya NKRI yang dimulai dari ufuk Timur, tinggal menunggu waktu. Kalau boleh didramatisir, lonceng kematian NKRI sudah siap dibunyikan.
Persoalan Freeport bisa dijadikan alasan oleh AS untuk mengacaukan atau memecah belah Indonesia.
Tetapi sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS, semua skenario di atas, sepertinya menjadi tidak relevan lagi.
Ketidak percayaan terhadap "Skenario Syria" semakin menguat setelah melihat keteguhan Donald Trump dalam mewujudkan paradigmanya yang baru.
Di antaranya, Trump tidak lagi menghendaki AS terlibat dalam politik kudeta di negara lain. Kudeta ala militer di Afrika, Amerika Latin ataupun Asia, tak lagi jadi pilihannya untuk melebarkan pengaruh ke semua negara di dunia.
Trump tidak setuju jika, setiap kali ada sebuah rezim dari sebuah negara yang tidak sejalan dengan Washington, lalu harus dikudeta atau dijatuhkan.
Tak ada lagi agenda dimana Gedung Putih mengerahkan operasi intelejens-nya hingga Presiden atau pemimpin di sebuah negara yang tidak disukai, jatuh.
Alasan Trump untuk tidak setuju atas skenario lama tersebut, antara lain karena pada akhirnya biaya politik untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan, tetap menjadi tanggungan AS.
Berapa mahalnya biaya itu tidak disebutkan. Namun Trump mengingatkan dengan kewajiban mendukung rezim baru, AS tetap mengeluarkan biaya yang cukup besar.
Bayangkan, berapa banyak negara yang harus digoncang dan dibiayai - demi semua cita-cita melebarkan pengaruh AS.
Bagi Trump biaya-biaya yang dikeluarkan AS untuk semua operasi dan kepentingan AS di luar negeri, telah menimbulkan masalah dan beban tersendiri.
Itu pula sebabnya Trump bermaksud membubarkan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Sebab NATO juga membebani keuangan Washington.
Sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi bagi Trump, NATO tidak diperlukan lagi mengingat Pakta Warswa yang merupakan saingan satu-satunya organisasi sejenis, sudah bubar.
Pakta Militer antar negara-negara komunis yang dipimpin Uni Sovyet ketika Perang Dingin, sudah bubar bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin di tahun 1989.
Masih sejalan dengan skenario itu, maka Trump tidak ingin tercipta sebuah Perang Dingin baru dengan Rusia, pengganti atau lanjutan dari eks Uni Sovyet.
Bagi Trump lebih baik AS atau pihaknya bersinerji dengan Rusia. Buat pengusaha Kasino dan Property itu, lebih nyaman dan aman membangun persahabatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Putin yang mantan agen KGB, dikenal sebagai lelaki tanpa isteri, sementara Trump pengusaha yang dikenal kawin cerai dengan wanita asal Eropa Timur.
Trump tidak sejalan dengan Obama, Presiden AS yang digantikannya yang memusuhi Vladimir Putin.
Singkatnya, Trump ingin konsentrasi di dalam negeri untuk membuat Amerika berjaya kembali sebagai sebuah negara besar.
Hingga dengan bulan Februari ini atau sebulan setelah dilantik 20 Janauri 2017, paradigma barunya Trump belum bisa dijalankan secara mulus. Antara lain karena penentangan yang kuat dari berbagai kalangan di dalam negeri.
Termasuk anggota Partai Republik, partai yang mengusungnya sebagai Presiden.
Sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik tidak mau mendukung semua gagasan Trump. Termasuk politisi senior yang berpengaruh John McCain.
Bahkan sejumlah Menteri yang diusulkan Trump mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan dari kongres.
Semua ini menunjukkan, paradigma baru AS yang dijalankan Trump, belum memperoleh persetujuan dari rakyat dan bangsa AS.
Sekalipun begitu melihat keukeuhnya Trump di dalam mewujudkan rencana barunya kemungkinan terwujudnya, sangat besar.
Artinya di tangan Trump, AS tidak lagi menjadi negara yang harus ditakuti oleh seluruh dunia, karena sikap dan sifatnya yang mau mendikte secara kasar terhadap siapa saja.
Perhitungan bahwa Trump akan berhasil antara lain karena hak prerogatif dan diskresinya.
Sebagai seorang Presiden terpilih, Trump memiliki dua hak istimewa itu. Jika memang terpaksa Trump bisa memaksakan kehendaknya, sebab landasannya demi kepentingan bangsa AS. Bukan demi kepentingan pribadinya.
Di balik itu semua kampanye Trump yang ingin membangkitkan nasionalisme baru AS, cukup populer di masyarakat bawah. Hanya memang suara masyarakat bawah ini tidak banyak terdengar di luar Amerika.
Bagi kita di Indonesia yang lebih banyak memonitor laporan televisi CNN, memang tidak akan mendapatkan gambaran seutuhnya kalau hanya memantau televisi milik Ted Turner tersebut.
Sebab media global ini sejak masa kampanye 2016, sudah tidak berpihak kepada Donald Trump.
Lantas apa kaitannya Freeport dengan semua yang dipaparkan di atas.
Paradigma yang dijalankan Freeport bertolak belakang dengan kebijakan Trump.
Oleh sebab itu perspektif baru yang perlu dipegang pemerintah Indonesia yaitu tidak perlu takut terhadap ancaman Freeport.
Pemerintah sudah menegaskan tak mau kompromi. Sikap itu harus terus dipegang. Jangan berubah apapun godaannya.
Kalaupun pada akhirnya Trump terpaksa harus menjalankan paradigma lama AS, paradigma Freeport, sudah tidak sesuai dengan zaman.
Apa iya kontrak 50 tahun tidak bisa dirubah atau berubah?
Kalaupun Trump tidak berhasil mewujudkan paradigmanya, porto folio negara adidaya itu tak lagi sekuat dan sebesar pada dekade sebelumnya. Pengaruhnya ke Freeport tetap ada.
Lihat saja bagaimana AS mengalami kekalahan telak di Syria. Mengingatkan kekalahan serupa di Perang Indochina yang berakhir April 1975.
Kekalahan AS di Syria, juga sinonim dengan kekalahan perusahaan gas AS yang tidak berhasil mendapatkan konsensi di negara Arab tersebut.
Selain kalah di Syria, kekuatan AS saat ini belum mampu mengamankan Irak.
Presiden Saddam Husein sudah lebih dari 10 tahun digulingkan tentara AS. Tapi para pengikutnya masih tetap bertahan, melawan kehadiran AS di Tanah Seribu Satu Kisah tersebut.
AS tetap tak aman dari gangguan tentara pro Presiden Saddam Husein, almarhum.
Lagi pula dari segi wilayah, Indonesia jauh lebih besar dibanding dengan negara-negara yang dihancurkan oleh AS di Timur Tengah dan Asia Selatan (Afghanistan dan Pakistan).
Sehingga menjadikan Indonesia seperti Syria, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Kecenderungan lainnya, negara besar seperti Rusia dan RRT, jelas tak akan diam atas keinginan AS menguasai Indonesia.
Dengan peta seperti itu, dua negara itu juga pasti tak ingin AS memperoleh keuntungan di Indonesia, sementara pihaknya tersisih.
Rusia dan RRT bahkan sudah membentuk BRICS, bersama India, Brasil dan Afrika Selatan. BRICS, salah satu tujuannya ingin membatasi pergerakan AS di dunia ekonomi, perdagangan dan tentu saja militer.
Jadi mas Jokowi, sampean sudah benar dan tepat caramu menghadapi Freeport.
Yang perlu diperjuangkan Presiden Joko Widodo, bagaimana mendapatkan dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia.
Bahwasanya di antara rakyat kita juga terdapat pengkhianat, itu hal wajar yang tak perlu menggoyahkan tekad menghadapi Freeport.
[***]Penulias adalah wartawan senior