Berita

Rayhan Dudayev/Net

Wawancara

WAWANCARA

Rayhan Dudayev: Rapatnya Tertutup, Komite Gabungan Reklamasi Jakarta Rawan Praktik Koruptif

SABTU, 18 FEBRUARI 2017 | 10:58 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Peneliti Indonesia Center Environment Law (Icel) ini menggugat Kementerian Koordinator Kemaritiman ke Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat. Dia menuntut pemerintah membuka informasi selengkap-lengkapnya terkait kajian rekla­masi Teluk Jakarta oleh Komite Gabungan Reklamasi Jakarta.

Kamis (16/2) lalu sidang perdana terhadap gugatan itu sudah digelar. Sejatinya infor­masi apa saja yang diinginkan oleh para aktivis lingkungan tersebut. Berikut penuturan Rayhan Dudayev kepada Rakyat Merdeka :

Bisa dijelaskan gugatan anda?
Sebenarnya gugatan itu sudah melalui proses yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Pertama kita minta keterbukaan informasi publik pada 1 Agustus 2016. Nah,

Sebenarnya gugatan itu sudah melalui proses yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Pertama kita minta keterbukaan informasi publik pada 1 Agustus 2016. Nah,

Sejatinya tujuan menggugat Kemenko Maritim ke KIP apa sih?
Kita minta kajian reklamasi teluk Jakarta itu, kajiannya mencakup sosial, ekologi, dan hukumnya. Kalau kita flashback lagi, pada bulan April 2016 itu ada aksi besar-besaran di pulau G oleh nelayan.

Setelah itu, keesokan harinya pemerintah langsung bersikap dengan memorato­rium reklamasi. Pada saat itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Pak Rizal Ramli membentuk Komite yang tu­juannya mengkaji reklamasi itu layak nggak sih reklamasi dilanjutkan.

Apa ekspektasi anda?
Kami dari awal sudah men­duga, proses ini akan dilaku­kan secara tertutup dan ketika proses ini tertutup nanti akan jadi kambing hitam. Misalnya, kajian ini bisa kok dilanjutkan, layak secara hukum, lingkungan dan sosial.

Nah, jika kita memang dari awal dilibatkan atau informas­inya diupload ke website. Tapi tidak ada sama sekali, sampai Pak Rizal Ramli bilang, ini tak bisa dilanjutkan.

Namun setelah itu, beliau diganti, Kemenko Maritim yang baru mengatakan (reklamasi) dapat dilanjutkan berdasarkan kajian yang kami buat dari ahli, itu kan bertentangan.

Nah, ini menjadi penting dan membuat kami ingin tahu. Kalau memang bisa, kajiannya itu seperti apa. Nanti kajian itu kita overlay dengan kajian kita.

Memangnya seberapa pent­ing sih informasi kajian itu?
Informasi ini penting, kar­ena segala bentuk proyek yang berdampak besar terhadap lingkungan akan berdampak pada publik. Misalnya jika se­seroang tinggal di Condet, saya di Harmoni, ketika aliran sungai dari Condet itu tercemar, maka saya di Harmoni yang dilewati aliran sungai Ciliwung itu akan terkena dampak dari sungai yang tercemar itu. Masyarakat yang rumahnya dilalui aliran sungai itu akan dirugikan.

Untuk itu, saya yakin masalah lingkungan hidup itu berkaitan dengan kepentingan publik. Begitu juga dengan reklamasi, bukan hanya perseorang yang terkena dampaknya, bukan hanya warga Muara Angke saja yang akan terkena dampaknya. Apalagi pantai itu milik publik, jika bicara pesisir, kita punya hak akses untuk ke sana.

Apa Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta sudah memiliki kajian sendiri?
Kalau kajian hukum kita sudah ada, sosial juga sudah ada. Tapi memang kita ingin membuat yang lebih komprehensif.

Memangnya selama ini belum ada bocoran sedikit pun terkait hasil kajian Komite Gabungan Reklamasi Jakarta?

Kita sempat diberikan infor­masi setelah aksi mahasiswa dan nelayan di Kemenko Maritim, keesokan harinya kita diberikan informasi kajian. Namun bukan kajian detail seluruhnya.

Informasi apa saja yang diberikan?
Hanya sekadar rekomendasi Tim Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta. Kita ng­gak puas, dan itu menjadi alasan kita sengketa. Karena itu bukan kajian, menurut kami kajian itu ada rumusan masalah, ada pem­bahasan masalah, lalu terakhir rekomendasi.

Melihat itu semua apakah ada dugaan bahwa reklamasi Teluk Jakarta ini melanggar hukum?
Iya, kita sih menduga seperti itu.

Kenapa?

Kita bisa lihat ada praktik koruptif. Yang kemarin dengan salah satu anggota DPRD DKI Jakarta ditangkap, ada transak­sional. Nah, kita nggak tahu ada apa ini dengan tim Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta sangat tertutup.

Ini kan menjadi pertanyaan publik. Bagaimana kerja tim komite, bisa saja di dalamnya ada praktik-praktik seperti itu.

Walaupun kita hanya men­duga, namun kita patut menduga karena prosesnya secara tertutup. Kecuali dilakukan secara trans­paran dan kita bisa update terus. Ada forum-forum yang melibat­kan kita atau masyarakat.

Bagaimana dengan Analis Dampak Lingkungannya (Amdal)?
Kalau Amdal kita belum bisa mengomentari. Karena itu kan sudah dijatuhkan sanksi ad­ministratif ya. Hanya kita juga menunggu keterbukaan informas­inya. Kan pengembang diberikan sanksi administratif, ada kewa­jiban yang harus dilakukan, tapi sampai sekarang kita nggak tahu proses pengawasannya.

Kewajiban-kewajiban itu be­nar nggak sih dilakukan sama pengembang. Yang paling pent­ing ialah, ketika saat menteri mengatakan reklamasi ini bisa dilanjutkan berdasarkan kajian namun kajiannya itu tidak ada, itu parah. Sebenarnya, seharus­nya pemerintah pede (percaya diri) saja kalau memang kajian itu dilakukan.

Apa ada indikasi kajian itu lebih menguntungkan pihak pengembang agar reklamasi dapat dilanjutkan?

Nanti kita overlay, kita juga sudah ada kajian dari IPB dan dari ITB juga. Bisa saja nanti komparasi. Secara metodologi tepat nggak kajian, benar atau tidak. Apakah variabel-variabel dari kajian itu sudah dikaji se­muanya belum. Jangan-jangan ada yang terlewat. ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya