Usaha panas bumi (geothermal) di Indonesia diprediksi akan mengalami ketidakpastian yang sangat luar biasa, setelah majelis hakim menolak eksepsi dari pihak BUMN PT Geo Dipa Energi (persero).
Kuasa hukum Geo Dipa, Lia Alizia menyatakan, putusan majelis hakim tersebut akan menjadi preseden yang sangat buruk bagi usaha geothermal di Indonesia. Akibatnya juga sangat fatal karena dipastikan akan menghambat program listrik pemerintah
"Presiden Jokowi harus menyelamatkan bisnis yang menyedot modal triliunan rupiah ini. Kalau kriminalisasi terhadap BUMN Geo Dipa dibiarkan, maka modus yang sama bisa juga menimpa PT Pertamina Geothermal Energi yang memiliki 14 wilayah pengusahaan panas bumi lain di Indonesia," papar Lia dalam keterangannya di Jakarta.
Lia menjelaskan, kliennya dituduh telah melakukan penipuan karena dianggap tidak menyerahkan bukti kepemilikan izin konsesi kepada Bumigas.
"Padahal, dalam konteks hukum panas bumi di Indonesia istilah izin konsesi tidak dikenal, melainkan dikenal kuasa pengusahaan," terang Lia.
Geo Dipa sendiri, lanjut Lia, memperoleh hak pengelolaan untuk mengelola wilayah panas bumi Dieng dan Patuha dari PT Pertamina (Persero) selaku pemegang kuasa pengusahaan panas bumi yang diberikan oleh pemerintah RI.
"Dengan tetap berlangsungnya perkara ini tentu saja menjadi suatu bentuk kriminalisasi terhadap klien kami," kata Lia.
Selain itu, menurut Lia, apabila kriminalisasi yang tanpa dasar ini dibiarkan dan dikuatkan oleh putusan maka bukan tidak mungkin seluruh direksi, dewan komisaris, serta pemegang saham Geo Dipa dan PT Pertamina Geothermal Energi pun dapat dilaporkan pidana oleh pihak lain yang bermaksud merebut dan mengambil wilayah pengusahaan panas bumi secara melawan hukum yang berlaku di Indonesia.
"Hal ini tentu saja sangat aneh dan mengganggu iklim usaha panas bumi di Indonesia yang saat ini sedang didorong dan sidah menjadi program pemerintah," imbuhnya.
Terlebih lagi proyek PLTP Dieng dan PLTP Patuha yang dikelola Geo Dipa termasuk ke dalam program ketahanan energi listrik 35 ribu MW sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo dan saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu obyek vital nasional.
Lia menambahkan, melihat adanya kejanggalan hukum, pihaknya telah dan akan terus berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial dan institusi-institusi terkait lainnya guna memantau dan mengawasi proses persidangan ini.
Ia juga menegaskan, berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta hukum yang telah disampaikan, surat dakwaan penuntut umum terkesan dipaksakan karena perkara ini sesungguhnya murni sengketa kontrak di lingkup perdata dan sama sekali bukan atau tidak termasuk ke dalam ranah hukum pidana.
[wid]