Berita

Politik

Letnan Jenderal (TNI) SS, Gubernur DKI Terpilih Kualitas Wakasad

SABTU, 11 FEBRUARI 2017 | 10:35 WIB | OLEH:



SAAT masih memimpin lembaga mahasiswa di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) "Veteran" Yogyakarta (saat itu UPN "Veteran" Yogyakarta di bawah Dephan RI dan sekarang di bawah Kemenristek Dikti), penulis pernah mendampingi (Alm) Bpk Letjen (Purn) Z. A. Maulani (Mantan Kabakin) selama tiga hari tiga malam dalam satu mobil berkeliling dari Yogya - Purwokerto - Yogya.

Pada kesempatan lain, beberapa hari mendampingi beliau Yogya - Kebumen - Solo. Kebetulan beliau Ketua Umum Pengurus Besar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PB KBPII), tempat bernaung alumni aktivis PII, dan penulis cukup senior di PII Wilayah Yogyakarta Besar dan beliau tamu Keluarga Mahasiswa UPN "Veteran" Yogyakarta.


Entah bagaimana awalnya, cerita demi cerita akhirnya sampai mengenai Bapak Letnan Jenderal (TNI) Soerjadi Soedirdja (SS), Mantan Gubernur DKI Jakarta merangkap Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (WAKASAD) pada waktu bersamaan. Saat ini Pak SS pensiun dengan pangkat Jenderal penuh (Bintang 4) kehormatan. Pangkat kehormatan yang sama disandang saat ini oleh Bapak Jenderal (Purn) Agum Gumelar (Mantan Menteri), Bapak
Jenderal (Purn) Hendropriyono (Mantan Menteri), Bapak Jenderal (Purn) Hari Sabarno (Mantan Mendagri), dan yang paling terkenal tentu saja Bapak Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhouono (Presiden RI ke 6). Sebuah pangkat kehormatan yang yang tidak bisa disandang sembarang orang tanpa dedikasi dan prestasi luar biasa.

Bapak Z. A. Maulani memulai bercerita bahwa dalam militer itu semua sudah tertata dengan baik, seseorang yang akan menempati jabatan tertentu akan dberikan pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu, disesuaikan dengan jabatan dan pangkat yang akan disandangnya. Seorang yang akan menjabat Komandan Kodim akan mendapat pendidikan dan pelatihan untuk jabatan setingkat Letnan Kolonel, calon Komandan Korem mendapat pendidikan dan pelatihan untuk pangkat setingkat Kolonel. Tidak ada cerita di militer seorang Kapten dan Mayor diikutkan pendidikan Lemhanas karena Lemhanas adalah pendidikan untuk Kolonel senior dan Bintang Satu (Brigjen, Laksma, dan Marsma).

Kembali ke cerita tentang Bapak SS. Saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Bapak SS menyandang bintang tiga AD di pundaknya (Letnan Jenderal TNI). Dan banyak Gubernur saat itu yang juga dari TNI AD namun menyandang bintang dua, dan ada juga yang bintang satu, tidak ada yang Kolonel. Kolonel biasanya menjabat Bupati atau Walikota di daerah tipe A, sementara Letkol menjabat Bupati dan Walikota di daerah Tipe B. Perwira dengan pangkat Mayor ke bawah tidak dibenarkan sama sekali menjabat Bupati dan Walikota. Pak Harto selaku Presiden sangat ketat dalam hal ini. Mbak Tutut pun baru dijadikan Menteri Sosial saat Mbak Tutut sudah berumur mendekati kepala lima (aduh, jadi teringat banyak foto Pak Harto dengan senyum khasnya dan tulisan yang menghiasi tempat-tempat terbuka dengan kalimat "Piye, masih....")

Saat itu hanya Gubernur DKI Jakarta yang Jenderal TNI bintang tiga, dan tidak sembarang Jenderal bintang tiga pula, tapi Jenderal bintang tiga paling senior, sementara Gubernur lain rata-rata bintang dua.

Ya, Gunernur DKI adalah posisi untuk Jenderal TNI bintang tiga paling senior. Sudah menjadi pengetahuan umum saat itu, hanya TNI AD yang punya bintang tiga dalam lingkungan ABRI. AL, AU, dan Polri hanya ada bintang empat dan bintang dua kebawah. Bintang tiga di AL, AU, dan Polri hanya disandang calon KASAL, calon KASAU, dan calon Kapolri beberapa saat sebelum naik bintang empat, kemudian kosong kembali.

"Diantara Jenderal bintang tiga yang ada di lingkungan ABRI, jabatan paling prestisius dan paling senior adalah Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Bisa dibayangkan bagaimana cara pandang negara saat itu terhadap nilai strategis dan beban tanggung jawab yang ada di pundak seorang Gubernur DKI Jakarta. Sebuah organisasi paling solid dan rapi dalam penjenjangan karir dan pendidikan (ABRI) memposisikan Gubernur DKI setingkat dengan kualifikasi orang paling senior nomor urut 6 dalam jajaran ABRI, setelah Pangab, empat Kastaf dan Kapolri", tutur Pak Maulani dengan nada dan intonasi penuh penekanan ala Panglima seolah hal itu tidak boleh dilanggar sama sekali.

"Bintang tiga senior dengan jabatan WAKASAD itu merepresentasikan tingkat pendidikan dan pelatihan yang sudah ditempuh, kemampuan pribadi, kualitas kepemimpinan, kematangan jiwa dan emosional, dan jam terbang dalam mengelola konflik yang semuanya tidak saja mumpuni tapi paling mumpuni. Sehebat apapun seseorang di militer, tidak ada yang namanya Perwira Menengah siap dan disiapkan mengemban tugas Perwira Tinggi. Setidaknya organisasi TNI tidak menyiapkan itu dan tidak melakukan itu", tuturnya melanjutkan.

"Gubernur DKI secara phsikologis adalah orang yang punya kapasitas untuk memberikan perintah komando kepada Pangdam dan Kapolda, jabatan militer dan Polri yang dijabat bintang dua senior. Seorang Gubernur DKI Jakarta tidak bisa tidak adalah orang yang mendapat hormat terlebih dahulu dari seluruh bintang tiga di jajaran militer dan Polri", masih dengan penekanan ala Panglima.

"Memasangkan baju bintang tiga senior dan melekatkan nama jabatan bintang tiga senior di pundak seseorang tidak bisa dilakukan oleh dan kepada sembarang orang. Apalagi yang yang belum waktunya memakai baju dan nama jabatan tersebut. Melakukan itu tak ubahnya sebagaimana digambarkan Cerdik Pandai Minangkabau, negeri asalmu, "Kebesaran Baju, Keberatan Nama". Local Wisdom Orang Jawa menamakannya dengan istilah Kemronggo. Ngge ngge mongso," lanjut Pak Maulani kepada penulis.

Selang belasan tahun kemudian, suatu waktu penulis pernah mendapat wejangan dari tokoh budaya Jawa tentang "Kemronggo". Di akhir wejangan, tokoh kharismatik budaya Jawa tersebut menutup dengan kalimat "Milih wong kemronggo ateges kepingin sengsoro".

"Memilih orang yang kemronggo, sama saja pemilih dengan sadar menginginkan kesengsaraan".

Merenungkan itu semua kembali, penulis akhirnya bisa memahami, kenapa Pak Harto sebagai orang Jawa yang hidup dari kecil dengan kearifan-kearifan Jawa dan sangat paham dengan implikasi "Kemronggo" tersebut bagi kesejahteraan rakyat, selalu menempatkan Jenderal bintang tiga senior sebagai Gubernur DKI.

Indonesia adalah bangsa besar yang kaya dengan kearifan lokal. Kearifan yang ditemukan setelah pengalaman hidup bangsa dari generasi ke generasi. Jika kearifan lokal yang kaya ini bisa diangkat menjadi kearifan nasional dan dikelola dengan bijak sesuai keadaan, terbuka lebar peluang Indonesia Pemimpin Dunia di masa depan, pemimpin dunia membangun peradaban yang lebih beradab, lebih arif, dan dan lebih berkeadilan.

Semoga segera terwujud, Allahumma Amien.

Penulis adalah Sekjen Community for Press and Democracy Empowerment (PressCode), Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2012


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Pertunjukan ‘Ada Apa dengan Srimulat’ Sukses Kocok Perut Penonton

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:57

Peran Indonesia dalam Meredam Konflik Thailand-Kamboja

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:33

Truk Pengangkut Keramik Alami Rem Blong Hantam Sejumlah Sepeda Motor

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:13

Berdoa dalam Misi Kemanusiaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:59

Mualem Didoakan Banyak Netizen: Calon Presiden NKRI

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:36

TNI AL Amankan Kapal Niaga Tanpa Awak Terdampar di Kabupaten Lingga

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:24

Proyek Melaka-Dumai untuk Rakyat atau Oligarki?

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:58

Wagub Sumbar Apresiasi Kiprah Karang Taruna Membangun Masyarakat

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:34

Kinerja Polri di Bawah Listyo Sigit Dinilai Moncer Sepanjang 2025

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:19

Dugaan Korupsi Tambang Nikel di Sultra Mulai Tercium Kejagung

Minggu, 28 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya