SAYA terkejut Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan (LBP) mengancam para pengeritiknya yang beredar luas di Sosmed. Sebab, saya juga termasuk pengeritiknya yang coba memberi masukan bagaimana masalah negara dijalankan sesuai aturan mainnya, tanpa mens rea atau niat makar. Jika benar ancaman itu, niscaya celakalah saya. Tapi tunggu dulu. Yang dimaksud LBP adalah intelektual, saya gerbong aktivis.
Kata tajuk film, "Ada apa dengan LBP memusuhi kaum intelektual?" "Ada apa dengan LBP yang di kalangan aktivis lebih dikenal sebagai The Real President?
Dewasa ini, pembisik Presiden Jokowi ada empat tokoh. Yaitu 1. LBP, 2. Kapolri Tito Karnavian, 3. Staf ahli KSP Gories Mere, dan 4. Oesman Sapta Odang (OSO) yang kini Wakil Ketua MPR RI. Semua pemikir ini berada di bawah komando LBP.
Terkini yang menjadi konsen LBP adalah meneruskan proyek reklamasi dan reformasi migas. Keduanya merupakan tupoksi LPB sebagai Menko Maritim. Saya kira di dua soal itu LBP gusar kepada intelektual, terutama kritik pencopotan Dirut Pertamina secara serampangan.
ReklamasiProyek reklamasi pulau Jakarta, LBP gagal. Proyek bernilai ratusan triliun rupiah ini berhenti ketika Menko Maritimnya dijabat Rizal Ramli. Rizal menghentikan proyek itu setelah terbongkar tanpa izin zonasi, terjadi korupsi, dan didemo masyarakat terkait Ahok (yang menjadi public enemies). Rizal kemudian diganti LBP. Tapi proyek itu tetap mandeg. Sedianya pulau reklamasi itu untuk hunian 1.860.000 hoasan (Cina Daratan) yang dengan suara hoasan itu dapat dipastikan gubernur Jakarta ke depan adalah Cina. Karenanya dimusuhi oleh pribumi dan diusulkan menjadi hutan mangrove.
Selaku the real presidente, LBP mengurus segala hal, termasuk mengurus soal Ahok kepada Ketua MUI KH Makruf Amien yang terkena sadapan lawyer Ahok. Bisa dimaklumi, karena hubungan mesra LBP dengan Jokowi telah terjalin sejak menjadi kongsi dalam dagang mebel. Di regime Presiden Gus Dur, LBP menjadi Menteri Perdagangan, seusai itu bikin perusahaan bersama anak Presiden Jokowi.
Wamen ESDMDi ESDM, LBP sukses menempatkan Archandra Tahar menjadi Wamen ESDM. Archandra yang masuk menjadi Wamen, memanfaatkan keriuhan Demo Bela Islam 411. Ia luput dari perhatian Sosmed yang sibuk dengan berita demonstrasi. Tak seperti ketika ia menjadi Menteri ESDM, terpaksa dicopot karena terjungkal oleh UU No 39/2009 tentang Kementerian Negara di mana ia adalah warga negara Amerika Serikat. Archandra masuk lagi menjadi Wamen tetap melanggar UU yang sama dan UU Kewarganegaraan. Yaitu, ia menjadi warga negara Indonesia dengan proses naturalisasi pemain sepak bola, bukan naturalisasi yang diwajibkan UU KN bagi pejabat tinggi politik, di mana saya menjadi anggota Pansus UU itu.
Pada saat ini, Archandra menjadi ex officio Dirut Pertamina setelah Dirut dan Wadirut dicopot RUPS. Sampai tahapan ini, tampaknya LBP sukses. Ada proyek sebesar Rp 700 triliun di situ yang bisa didulang untuk kepentingan pilpres dan korporasi pengganti peran Reza Chalid. Saya kira LBP masih punya kesempatan menjadi Wapres yang gagal diraihnya terganjal Jusuf Kalla (JK), rival abadinya dalam bisnis maupun politik jika ia mampu menangguk yang Rp 700 triliun itu.
Tapi LBP mengandalkan Archandra saya kira salah orang. Sejak awal, LBP sukses mempromosikan Archandra dengan sejumlah kehebatan Archandra. Ternyata tak benar. Kesalahan fatal menaruh Archandra karena kelakuan Archandra sendiri yang bergaya ustadz di mesjid Al Azhar. Menurut mereka astuti, "Wong minta maaf saja tidak", komplain mereka.
BuldozerLBP tidak sekadar mengancam. Rencana mau membuldozer para aktivis sudah ia kemukakan sejak ketidakberesan kewarganegaraan Archandra. "Siapa saja yang mengganggu Archandra, saya buldozer," kata LBP. Kemudian ancaman itu diulangi waktu Tax Amnesty di mana LBP mengaku inisiatornya. Dan benar. Tanggal 1 Desember, sehari sebelum Demo Bela Islam 212, sebanyak 11 orang ditangkap dengan tuduhan makar, puluhan orang di BAP. Jadi, LBP bukan Omdo (omong doang). Karenanya kini semua aktivis diam, tiarap. Bungkam. Ketimbang dituduh makar. Mereka ketakutan. Seminar dan diskusi berhenti sampai kini. Sudah habis kritik yang mengecam Presiden Jokowi, berubah pujian. Padahal itu hasil kerja LBP.
Anjuran saya, intelektual yang sudah diancam tadi, kudu ekstra hati-hati, daripada masuk bui via Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, juncto Pasal 107 KUHP, juncto Pasal 110 KUHP. Jadi barang itu: makar!
Saya pernah diundang LBP ketika ia menjabat Menkopolhukam berkenaan kritik kita terhadap Tax Amnesty di kantornya bersama Syahganda Nainggolan, Iksan Mojo, Taufikurrahman Ruki, Sofiano, dan Ferdinan Hutahaean. Orangnya absolut dan parasnya menakutkan. "Tunggu saja!", begitu ancaman LBP beredar di Sosmed.
Makanya tadi malam ketika saya menghadiri acara doa Rumah Amanat Rakyat di Cawang, sejumlah mantan jenderal yang rambutnya sudah memutih, menyatakan tak ada niat mereka mau makar. Di samping saya duduk Mochtar Efendy Harahap dan Hatta Taliwang (yang dituduh makar oleh Tito Karnavian). Tapi toh, RAR tetap ditutup berganti yayasan. Luar biasa LBP mampu membuat para jenderal tua itu paranoid. Suatu prestasi yang perlu dicatat oleh sejarah demokrasi.
[***]
Penulis adalah mantan anggota Komisi Hukum DPR RI