JUMAT dua pekan lalu, Seskab Pramono Anung bicara di Restonya Bursah Zarnubi, mengajukan badan kerukunan bangsa.
Pramono Anung menyadari kita tak punya badan yang mengurusi forum kerukunan bangsa, sehingga masyarakat yang berbeda pendapat tak bisa ketemu dan tak ada titik temu. Pramono Anung pembawa makalah didampingi Yudi Latif, Syahganda Nainggolan dan Johan Silalahi. Saya, Hatta Taliiwang, dan dua jenderal TNI menjadi pembahas, dimoderatori Bursah Zarnubi.
Bagus idenya, agar aspirasi dan ideologi yang kini terserak-serak itu bisa bertemu dalam suatu forum solusi, minimal mengurangi saling curiga di antara kaum nasionalis kamg-kanan-tengah yang dalam penggambaran terkini dari Syahganda disebutnya civilization devided (peradaban yang terbelah). Untuk itu diskusi ini.
Menurut ide Pram, begitu ia dipanggil, bentuknya Dewan Kerukunan Nasional. Itu satu. Kedua membentuk Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Belum jelas bagi saya status keduanya. Apakah Dewan Kerukunan Nasional (DKN) merupakan bagian pemerintahan, badan lex spesialis, atau terintegrasi dengan departemen teknis. Dan atau semi pemerintah atau state auxiliary agency. Fokusnya adalah konflik SARA.
Menurut saya, DKN dan PIP harus dipisah. Sebab konflik SARA tak ada hubungannya dengan Pancasila (dan UUD 45). Beda jauh. Dewan kerukunan nasional berbasis konsensus, sedang Pancasila berbasis kekuasaan hukum. Sekalipun Pancasila dan UUD 45 merupakan hasil konsensus nasional. Tak bisa menyuntikkan Pancasila ke kerukunan nasional seperti azas tunggal. Juga tak bisa menyuntikkan konsensus nasional ke kekuasaan hukum.
Tadi Joko Santoso Handipaningrat yang juga mantan anggota DPR komen saya, mengingatkan nasihat Muslim Abdurrahman (alm). Kita butuh tenda untuk ngadem. Kalau sudah adem, baru ke luar. Jika panas lagi, masuk tenda dan ngadem dulu, kata Joko Santoso menggunakan metafora kondisi ketegangan masyarakat yang tak mampu diperbaiki pemerintah dewasa ini.
Saya jawab, tempat ngadem itu yang kini tak ada. Dulu ada perwakilan daerah di MPR, diganti DPD oleh amandemen. Itu salah berat.
Di Inggris ada trikameral, kamar satu Senat, kamar dua Kongres, kamar tiga House of Lord. Di Perancis diisi pula dengan forthy immortal (40 orang yang tak bisa mati alias guru bangsa). Kamar tiga itu bertugas menyelesaikan konflik. Itu yang hilang dari bangsa ini akibat amandemen.
Amandemen konstitusi kita memang terjadi kesalahan. Itu harus diakui. Apa itu amandemen saja tak jelas. Dari hasilnya, jelas bukan amandemen, tapi reconsideration. Amandemen adalah metodologi yang digunakan Amerika Serikat. Yaitu, mengubah sebagian konstitusi, tapi mempertahankan naskah aslinya. Akibatnya, ia memakai teknik addendum untuk perubahan yang dilakukan.
Amandemen UUD 45, naskah aslinya didrop, dimunculkan UUD 2002. Jadi baru sama sekali. Kalau mau baru sama sekali, bukan amandemen, tapi reconsideration atau "revisi total". Teknik ini digunakan oleh Perancis yg merupakan root hukum Eropa Continental. Sedang Amandement rootnya Anglo Saxon (Inggris dan Amerika).
Awas Terjebak Makar
Deputi PIP sudah ditetapkan adalah Yudi Latif, dikepalai langsung oleh Presiden Jokowi. Saya kemukakan di forum itu, tugas Yudi Latif sangat berat. Hal itu karena penjabaran Pancasila, yaitu UUD 2002 telah jauh menyimpang dari UUD 45 yang dampak negatifnya sangat parah, di antara terpenting mengubah negara menjadi negara super liberal yang dikooptasi Cina.
Jadi, kembali ke UUD 45 asli secara teknik menurut saya, terdiri dari dua Bab.
Bab I berisi 1. Proklamasi, 2. Preambul (yang di dalamnya terdapat Pancasila 18 Agustus 1945), 3. UUD 45 (asli).
Bab II Addendum berisi UUD 2002 dan Lex Spesialisnya. Prasyarat Bab II dilarang melawan Bab I (induknya).
Jadi, kembali ke UUD 45 asli, bukan seperti memutar ke belakang jarum jam. Bukan seperti Dekrit 5 Juli 1959. Melainkan "menata kembali konstitusi". Jelas pilihannya bukan metodologi amandemen, melainkan reconsideration (revisi total).
Hal itu karena naskan UUD 45 yang sudah dibuang dipungut lagi. Tanpa naskah asli itu kita memang kehilangan jejak sejarah, filsafat, tujuan berbangsa bernegara dan tujuan kemerdekaan. Sekonyong-konyong negara sudah dilego ke asing, 80% ekonomi nasional dikuasai Cina, dan sebentar lagi politik nasional dikuasai Cina pula. Tentu mendatangkan reaksi konflik nasionalisme.
Konflik ini bisa diselesaikan di DKN, karena tak dapat diselesaikan oleh kekuasaan hukum. Tapi jelas konstitusi sebagai payung hukum mau tak mau harus ditata kembali. Itu tugas Yudi Latif: memprovokasi MPR. Awas kejebak makar!
[***]
Penulis adalah mantan Anggota Komisi Hukum DPR