Berita

Net

Politik

Positive Campaign, Black Campaign Dan Kapitalisasi Negative Campaign

MINGGU, 05 FEBRUARI 2017 | 09:54 WIB | OLEH:

PELAKSANAAN Pilkada serentak tahap II sudah memasuki masa-masa 'keras' kampanye. Kurang lebih  seminggu lagi akan memasuki masa tenang selama tiga hari. Dilanjutkan pencoblosan atau pemilihan pada hari berikutnya (Rabu, 15/2).

Belajar dari pengalaman pelaksanaan seribu lebih pilkada sebelumnya, inilah waktu-waktu calon dan tim sukses berkampanye secara agresif. Segala cara dilakukan hampir 24 jam dalam sehari secara terus menerus. Tokoh-tokoh top pendukung paslon turun gunung. Program dan pribadi calon yang dianggap menarik hati pemilih semakin intensif dikomunikasikan. Program dan pribadi rival yang sekiranya tidak disukai pemilih juga tidak kalah intensifnya disampaikan ke pemilih. Istilah medsosnya, diviralkan.

Dalam kamus pemilu dikenal istilah Positive Campaign, Negative Campaign, dan Black Campaign. Setiap paslon dan tim kampanye dibolehkan bahkan diwajibkan untuk menyampaikan siapa diri mereka dan apa yang akan mereka kerjakan jika mereka terpilih dalam kontestasi pemilu. Bahkan  penyelenggara pemilu secara memaksa menfasilitasi beberapa diantaranya, misal dengan menyelenggarakan debat antar paslon yang bersifat wajib diikuti seluruh paslon. Itulah yang dinamakan Kampanye Positif (Positive Campaign). Semua paslon dan tim kampanye berlomba-lomba melakukannya. Dan publik tidak saja menerima namun menanti-nanti. Dan idealnya publik menuntut paslon untuk semakin detail menyampaikan siapa diri mereka dan apa rencana program mereka. Dan memang begitulah karakteristik Kampanye Positif.


Kampanye Negatif vs Kampanye Hitam

Pemilihan umum, termasuk Pilkada, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemilihan-pemilihan posisi publik lainnya dengan mekanisme Tim Seleksi, semisal pemilihan Anggota KPU dan Anggota Bawaslu. Sama-sama ada yang dipilih dan ada yang memilih. Pemilih, calon, dan proses pemilihan sama-sama diatur oleh Undang-Undang. Sama-sama dipilih untuk menempati dan menjalankan kewenangan jabatan publik yang diamanahkan oleh Undan-Undang.

Ilustrasinya bisa dilihat pada seleksi oleh Timsel KPU/Bawaslu. Sebagai pemilih, Timsel bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kandidat yang akan dipilih. Bisa menggali keterangan dari siapapun dan lembaga apapun mengenai calon yang akan dipilih. Bahkan pada level tertentu dibolehkan menggar Undang-Undang, seperti meminta Dirjen Pajak membuka informasi perpajakan calon walaupun itu adalah rahasia yang dilindungi Undang-Undang jika calon tersebut bukan calon. Bisa dipenjara orang yang membuka file perpajakan seseorang. Namun hal itu bisa dikesampingkan bagi Timsel (baca: pemilih). Timsel juga bisa meminta data inteligen calon yang akan dipilih, padahal itu rahasia negara. Bahkan Timsel bisa meminta penegak hukum untuk melakukan penelusuran terhadap calon. Dan yang lebih bersifat masal, Timsel bisa meminta dan menerima laporan publik dari seluruh lapisan masyarakat. Timsel (baca: Pemilih) memang begitu cara kerja dan fasilitas akses yang dimiliki demi mendapatkan pejabat publik yang kompeten dan memenuhi syarat. Tentu saja semua informasi itu bersifat rahasia dan hanya untuk pemilih saja yaitu Timsel tersebut. Dan tentu saja informasi itu adalah informasi yang positif maupun yang negatif.

Pemilih dalam pemilu adalah seluruh masyarakat yang sudah memenuhi syarat sesuai Undang-Undang. Puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan pemilih tergantung jenis pemilunya.

Status pemilih, status calon, dan status proses pemilihan diberikan oleh Undang-Undang. UU mengamanahkan pemilih untuk memilih calon dalam proses pemilu untuk menjalankan kewenangan jabatan publik yang juga diamanahkan UU. Sebagai pemilih tentu pemilih harusnya dilengkapi dengan informasi selengkap mungkin tentang calon yang akan dipilih. Apalah lagi yang dipilih itu akan menjalankan kewenangan jabatan publik sebagai pemimpin (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) atau sebagai wakil masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara (DPR, DPD, DPRD).

Pada konteks ini muncul istilah Kampanye Hitam (Black Campaign) dan Kampanye Negatif (Negative Campaign) untuk menfasilitasi pemilih mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang calon yang akan mereka pilih. Baik itu informasi positif maupun informasi negatif. Positif dan negatif tidak saja dalam artian visi, misi, dan program calon namun  menyangkut semua hal. Moralitas, integritas, rekam jejak, kinerja, agama, dan informasi positif-negatif lainnya yang dianggap oleh pemilih perlu untuk mereka ketahui dan atau yang dianggap perlu untuk diketahui pemilih menurut rival.

Kampanye Negatif adalah kampanye dengan materi tentang segala hal negatif mengenai calon yang dianggap perlu diketahui oleh pemilih. Dianggap perlu diketahui oleh pemilih menurut versi yang menyampaikan informasi dan data tersebut, entah itu masyarakat umum, ormas, komunitas-komunitas, LSM, bahkan calon lain.

Kampanye Negatif dilakukan untuk memberikan informasi dan data berimbang kepada pemilih. Informasi dan data untuk mengimbangi Kampanye Positif yang dilakukan calon dan tim suksesnya yang cenderung menyembunyikan dan menutup-nutupi hal-hal negatif tentang calon. Biasanya terkait pribadi, program kerja, rekam jejak, dan moralitas. Keberimbangan informasi dan data tersebut dipandang sangat perlu bagi pemilih untuk membuat keputusan tentang siapa yang akan mereka pilih dan percayai untuk mengembang tugas dan wewenang jabatan publik  yang akan ditempati calon itu nantinya. Jabatan yang akan memiliki implikasi pada kehidupan pemilih kedepan khususnya dan kehidupan berbangsa dan bernegara umumnya.

Sampai level tertentu, Kampanye Negatif mendekati harus dan wajib dilakukan oleh siapapun yang mengetahui dan memiliki data negatif tentang calon. Kuncinya terletak pada kebenaran informasi dan  keakuratan data. Selama datanya akurat dan informasi negatif tersebut benar adanya maka adalah hak pemilih untuk mengetahuinya sebelum pemilih menjatuhkan pilihannya pada hari pencoblosan.

Karena merupakan hak pemilih untuk tahu maka perlu difasilitasi dan tidak boleh dihalang-halangi. Dan orang atau institusi yang menyampaikan data dan informasi tersebut haruslah dilindungi  dan diberi rasa aman oleh  hukum dan negara, serta tidak boleh dikriminalisasi oleh siapaun.

Karena merupakan hak pemilih maka siapapun yang mengetahui data dan informasi negatif tersebut wajib menyampaikannya kepada pemilih, termasuk jika yang mengetahui itu adalah calon dan tim sukses lainnya.

Sebaliknya, Kampanye Hitam (Black Campaign) yaitu kampanye dengan informasi yang tidak benar dan tidak didukung data yang akurat, haram disampaikan dan dilakukan oleh siapapun.

Pemilih harus dijaga agar tidak disuplai dengan indormasi dan data yang tidak benar mengenai calon, termasuk jika itu dikemas dalam bentuk hoax di medsos akun anonim sekalipun.

Penyampaian informasi dan data yang tidak benar haruslah dipandang sebagai usaha mengganggu hak pemilih dalam membuat keputusan. Penegakan hukum harus dilakan dengan sangat serius dan tegas kepada yang melakukan Kampanye Hitam karena merupakan pelanggaran dan gangguan serius kepada hak pemilih untuk mendapatkan informasi yang benar dan data yang akurat.

Membohongi pemilih dengan informasi yang tidak benar dalam pemilu haruslah dipandang sebagai pelanggaran hak konstitusional dan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) pemilih. Dan ini juga harus dipandang sebagai pelanggaran hukum yang sangat-sangat serius dalam pemilu karena memiliki dampak langsung pada kehidupan negara dan rakyat dimasa depan. Pelakunya haruslah diproses hukum segera dan dikenai hukuman maksimal.

Kapitasisasi Dalam Pemilu

Kombinasi Kampanye Positif, Kampanye Negatif, dan Kampanye Hitam ini pada ujungnya melahirkan apa yang dikenal dengan istilah "Kapitalisasi".

Jika calon tepeleset lidah dan perbuatan, maka akan dikapitalisasi dengan sangat masif sehingga mempengaruhi pemilih dengan dalih pemenuhan hak pemilih untuk tahu dan sebagai tindakan Kampanye Negatif.

Sudah banyak calon dalam pemilu yang menjadi korban dari "Kapitalisasi" dan cenderung mengerikan jika calon terkena Kampanye Negatif yang berhasil dikapitalisasi. Terutama jika kena kapitalisasi Kampanye Negatif yang berbau SARA. Terkait ini akan penulis tulis pada kesempatan lain. [***]

Penulis adalah Wartawan RMOL dan Sekjen Community for Press and Democracy Empowerment (PressCode)


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Sisingamangaraja XII dan Cut Nya Dien Menangis Akibat Kerakusan dan Korupsi

Senin, 29 Desember 2025 | 00:13

Firman Tendry: Bongkar Rahasia OTT KPK di Pemkab Bekasi!

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:40

Aklamasi, Nasarudin Nakhoda Baru KAUMY

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:23

Bayang-bayang Resesi Global Menghantui Tahun 2026

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:05

Ridwan Kamil dan Gibran, Dua Orang Bermasalah yang Didukung Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:00

Prabowo Harus jadi Antitesa Jokowi jika Mau Dipercaya Rakyat

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:44

Nasarudin Terpilih Aklamasi sebagai Ketum KAUMY Periode 2025-2029

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:15

Pemberantasan Korupsi Cuma Simbolik Berbasis Politik Kekuasaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 21:40

Proyeksi 2026: Rupiah Tertekan, Konsumsi Masyarakat Melemah

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:45

Pertumbuhan Kredit Bank Mandiri Akhir Tahun Menguat, DPK Meningkat

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:28

Selengkapnya