Pengusaha rokok menyayangkan langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar 0,4 persen dari 8,7 persen menjadi 9,1 persen. Kenaikan tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada penjualan tahun ini. Industri rokok jadi batuk-batuk.
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai, kenaikan PPN rokok ditambah dengan kenaikan cukai yang sudah diputuskan tahun lalu membuat produsen akan menaikkan harga jual rokoknya. Padahal, sejak 3 tahun belakangan industri rokok sedang mengalami penurunan kapasitas produksi.
Bahkan, kata Budidoyo, menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, pada 2016 terjadi penurunan kapasitas produksi sebesar 6 miliar batang. "Ini dampaknya ke harga jual rokok ya. Kenaikannya bisa bervariasi antar produsen," katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Namun, dia mengkhawatÂirkan, kenaikan PPNini akan berdampak semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Saat ini, dari seluruh pasokan rokok yang ada, 11 persennya ilegal.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPÂPRI) Ismanu Soemiran mengataÂkan, kenaikan PPN rokok sebesar 0,4 persen pada awal tahun ini terlalu tinggi. seharusnya, KeÂmenkeu menaikkan secara bertaÂhap sebesar 0,1-0,2 persen.
Dengan begitu, kata dia, daya beli masyarakat untuk komodiÂtas ini tidak semakin anjlok. Pasalnya, kenaikan harga rokok juga bersamaan dengan penÂcabutan subsidi listrik, kenaikan harga pertamax cs, dan kenaikan biaya administrasi pelayanan oleh kepolisian. "Penjualan pasati turun. Diprediksi sampai 15 persen," kata Ismanu.
Menurut Ismanu, para pelaku industri rokok selama ini sudah pontang-panting membangun industri rokok tanah air. Dengan bertambahnya PPN semakin membebani para pelaku industri rokok. "Sulit loh membangun kapasitas industri kami. Pasar itu nilainya Rp 350 triliun, yang disetor Rp 180 triliun terÂmasuk pajak-pajak dan cukai," katanya.
Analis Panin Sekuritas FredÂerik Rasali mengatakan, kenaiÂkan PPNdan cukai rokok tidak akan membuat kinerja emiten rokok besar turun pada tahun ini. Beban PPN dan cukai akan diÂtutupi dengan menaikkan harga jual rokok oleh emiten rokok untuk menjaga pendapatan.
Menurut dia, laba bersih dari PT Handala Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) tetap akan tumbuh meski PPN dan cukai rokok naik. "Aturan ini mungkin berpengaruh kepada PT WismiÂlak Inti Makmur Tbk dan peruÂsahaan rokok yang tidak tercatat yang akan terbebani dan saling berebut pangsa pasar," ujarnya.
Untuk diketahui, Kemenkeu memutuskan menaikkan PPNatas Penyerahan Hasil TemÂbakau dari 8,7 persen menjadi 9,1 persen. Aturan yang dituÂangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/ PMK.010/2016 tentang Tata Cara Perhitungan dan PemungÂutan PPNAtas Penyerahan Hasil Tembakau ini efektif berlaku sejak Januari 2017 ini.
Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, kebijakan ini membuat produsen harus menanggung PPN sebesar 9,1 persen dalam produk rokoknya. Dia menegaskan, langkah untuk menaikkan PPN rokok ini sudah melalui pembahasan mendalam termasuk bersama dengan proÂdusen rokok nasional.
"Pokoknya yang diputuskan terakhir jadi 9,1 persen. Karena kalau dipungut secara final artiÂnya di tingkat produsen bukan 10 persen tapi 9,1 persen. Kami kalau buat kebijakan, kami suÂdah diskusi," ujar Suahasil.
Meski begitu, Suahasil menÂgaku belum tahu secara rinci berapa potensi lonjakan penÂerimaan negara yang diperoleh dari kenaikan PPN rokok kali ini. Pemerintah sendiri berharap secara bertahap bisa menaikkan PPN rokok ke level 10 persen hingga 2019 mendatang.
"Jadi secara prinsip, kami ingin peraturan itu kembali ke ketentuan umum. Sekarang adaÂlah 9,1 persen, final. Ya sudah itu saja dulu. Nanti kami lihat lagi, tapi arahnya tetap ke normal (10 persen)," ujar dia. ***