Belum adanya kepastian perekonomian dunia pasca terpilihnya Donald Trump seabagai Presiden Amerika Serikat, perdagangan dunia menghadapi tantangan baru. Uni Eropa berencana memperketat impor akibat serbuan produk murah China. Dampaknya, ekspor Indonesia ke Benua Biru terancam terkena imbasnya.
Pengetatan impor kemungkinan akan diterapkan seiring Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy pada akhir 2016.
"Pemerintah mewaspadai haÂsil persetujuan parlemen Eropa. Penerapan modernisasi trade remedy ini bisa menghambat laju ekspor Indonesia ke Uni Eropa," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri KementeÂrian Perdagangan (Kemendag) Dody Edward di Jakarta, keÂmarin.
Trade remedy adalah suatu instrumen yang dapat diambil dan digunakan secara sah dan diatur dalam perdagangan dunia, untuk melindungi indusÂtri dalam negeri dari kerugian serius akibat praktik dagang yang tidak adil atau adanya lonjakan impor dan perkemÂbangan tidak terduga.
Proposal trade remedy dilatarÂbelakangi makin tingginya serÂbuan produk-produk murah asal China. Akibatnya, industri doÂmestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar. Uni Eropa juga secara khusus mengacu kepada Amerika Serikat (AS) yang teÂlah menerapkan praktik serupa dalam aturannya.
Dody mengungkapkan, Komisi Uni Eropa akan mengambil sejumlah kebijakan. Antara lain akan menghapus aturan lesser duty. Aturan lesser duty meÂmungkinkan pengenaan tingkat bea masuk antidumping dengan besaran (level) yang lebih keÂcil dari margin dumping yang ada, sepanjang besaran tersebut dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.
"Aturan
lesser duty dihilangkan terutama untuk mengÂhadang impor dari negara yang dianggap memiliki particular market situation yang mendisÂtorsi harga bahan baku. Negara berkembang seperti Indonesia perlu berhati-hati dan menganÂtisipasi seandainya Indonesia dianggap memiliki particular market situation. Uni Eropa akan menerapkan metode baru dalam menghitung besaran dumping," tuturnya.
Namun demikian, Dody mengimbau eksportir tetap optimistis dan berharap proposal tersebut tidak jadi berlaku.
"Kami akan mensosialisasikan rencana tersebut kepada eksportir Indonesia tujuan Uni Eropa dan bersama-sama denÂgan stakeholders guna melakuÂkan advokasi secara optimal kepada para eksportir Indonesia yang terkena tuduhan sasaran kebijakan
trade remedy," terang Dody.
Direktur Pengamanan PerÂdagangan Kemendag PradnyaÂwati mengungkapkan, produk unggulan Indonesia sebenarnya telah dirugikan oleh aturan serupa yang lebih dahulu diÂlakukan AS. Salah satunya untuk produk kertas.
"AS menganggap Pemerintah Indonesia memberikan subsidi melalui kebijakan kehutanan Indonesia dan larangan ekspor kayu bulat (log) yang berkonÂtribusi menekan harga kayu sebagai bahan baku kertas. Hal ini membuat Otoritas AS menenÂtukan besaran dumping mengÂgunakan harga kayu di negara lain sebagai pembanding yang notabene harganya jauh lebih tinggi," urai Pradnyawati.
Waspadai Ledakan Impor Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) HariÂyadi Sukamdani meminta peÂmerintah di dalam melakukan antisipasi tidak hanya fokus pada sektor ekspor, namun juga impor. Pemerintah, katanya, harus mengantisipasi kemungÂkinan Indonesia menjadi sasaran China.
"Bukan hanya ekspor kita yang terganggu. Kalau baÂrang China ke Uni Eropa ditoÂlak masuk, pasti mereka akan mencari emerging market atau pasar baru. Nah, kita itu akan jadi sasaran empuk bila tidak mengantisipasi secara serius. Barang China akan menyerbu pasar Indonesia," kata HariÂyadi kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia menuturkan, antisipasi yang harus dilakukan pemerintah ada dua. Pertama, menerapkan kebijakan serupa dengan apa yang dilakukan Uni Eropa. Kedua, mencari pasar baru untuk ekspor produk Indonesia.
"Indonesia harus seimbang menerapkan kebijakan. Jangan kita membuka pintu negara dengan lebar. Sementara di sisi lain negara lain menerapkan seÂjumlah aturan dan mempersulit produk dari Indonesia untuk masuk ke pasar negara lain," ingat Hariyadi.
Hariyadi menyebut, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk digarap menjadi pasar produk-produk Indonesia yang saat ini belum digarap secara serius. ***