USULAN Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Maneger Nasution (MN), bahwa kalau perlu Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia, menyusul penundaan kerjasama pertahanan kedua negara, perlu dikritisi.
Menurut hemat saya bukan saja usul tersebut lebay tetapi juga menunjukkan bahwa Komisioner Komnas HAM itu tidak paham masalah strategis yang terkait dengan politik luar negeri (polugri) dan implikasinya terhadap keamanan nasional (kamnas) kita. MN boleh saja merupakan seorang pejabat lembaga negara non struktural yang prestisius, tetapi jika pemahamannya mengenai masalah strategis sangat cetek seperti itu, maka usulannya sangat tidak layak.
Keputusan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmatyo (GN) untuk menunda kerjasama dengan angakatan bersenjata Australia (ADF) adalah sebuah keputusan strategis, namun tidak sampai mengganggu hubungan diplomatik kedua negara.
Saya termasuk orang yang dapat memahami dan menerima alasan yang digunakan Panglima TNI ketika beliau mengambil keputusan strategis seperti itu. Hanya saja beliaupun hanya membatasi tindakan tersebut pada level kerjasama dan tidak sampai mengusulkan kepada Presiden agar dilakukan perluasan tindakan. Sementara itu Presiden Jokowi (PJ), juga bisa memahami langkah GN, tetapi beliau juga tetap menggarisbawahi bahwa hubungan kedua negar yang bertetangga itu, dalam kondisi normal dan baik-baik saja.
Itu berarti bahwa insiden pelecehan terhadap Pancasila yang menjadi sebab terjadinya tindakan penundaan kerjasama merupakan masalah khusus dan harus diselesaikan secara cepat dan seksama agar tidak terjadi perluasan. Dan itulah yang dilakukan oleh pihak Australia, yakni meminta maaf kepada Pemerintah RI dan melakukan investigasi terhadap pelaku insiden tersebut. Justru perluasan masalah akan bisa terjadi jika usulan seperti yang dikemukakan oleh Komisioner Komnas HAM, MN, itu diikuti.
Hubungan RI-Australia memang seringkali mengalami gangguan sehingga ada orang yang mengibaratkan seperti permainan yoyo, turun naik. Dan saya kira cukup fair untuk mengatakan bahwa jika dilihat dari perspektif Indonesia, negeri jiran tersebut cenderung menjadi sumber terjadinya persoalan.
Kita tentu masih ingat bagaimana intelijen Australia melakukan penyadapan terhadap Presiden Keenam RI, SBY, dan Ibu Negara, Ani Yudhoyono. Juga kita ingat bagaimana sikap sebagian LSM dan media Australia terkait para pelarian dari Papua serta berbagai kasus terkait masalah rumah tangga RI, khususnya yang terjadi di Papua. Belum lagi masalah Timor Leste di masa lalu.
Kendati demikian, insiden-insiden yang membuat ketegangan dan keretakan hubungan kedua negara selalu bisa diselesaikan dengan pendekatan diplomatik sehingga tidak menjurus menjadi konflik terbuka, termasuk pemutusan hubungan diplomatik yang akan merugikan kedua bangsa dan negara.
Dalam pandangan saya, yang sangat diperlukan adalah perbaikan komunikasi politik dan budaya antara kedua jiran dekat yangg suka atau tidak suka saling memerlukan satu sama lain itu. Sulit untuk dibantah bahwa masalah kesenjangan budaya dan komunikasi antar-budaya, serta komunikasi politik antara rakyat di kedua negara masih sangat rentan terhadap kesalahpahaman dan bisa memicu konflik yang berimbas pada persoalan strategis. Ini tentu bukan urusan mudah dan bisa jadi merupakan kerja berlingkup generasi masa depan (a future generation endeavor).
Fakta tersebut memang seperti anomali jika diingat bahwa antara Indonesia dan Australia sudah lama terjalin hubungan sejarah yang erat, demikian juga berbagai kerjasama dalam bidang-bidang strategis seperti ekonomi, pertahanan, iptek, dan pendidikan. Alumni-alumni Universitas terkemuka di Negara Kanguru yang berasal dari Indonesia sangatlah banyak dan menempati posisi-posisi strategis baik di pusat dan daerah. Demikian pula para pakar masalah Indonesia yang sangat dekat dengan rakyat Indonesia sangat besar jumlahnya, belum lagi masyarakat Australia yang sudah sangat sering berkunjung dan berpengalaman hidup dengan bangsa kita.
Jika kemudian muncul pergesekan-pergesekan seperti insiden kerjasama TNI dan ADF itu, saya kira hal itu perlu disikapi secara lebih dewasa, profesional, dan menggunakan aturan yang berlaku secara internasional dengan selalu mengedepankan prinsip bertetangga baik.
Ini bukan berarti kita tak boleh tegas terhadap Australia jika memang diperlukan, seperti yang dilakukan Panglima TNI dan sikap Presiden SBY yang memanggil pulang sementara Dubes RI untuk Australia saat itu. Namun tetap saja tindakan diplomatik yang rasional dan berwawasan jauh mesti digunakan untuk memulihkan keseimbangan hubungan kedua negara. Bukan memgikuti usulan-usulan lebay seperti yang diajukan oleh MN.
Bisa saja usulan model MN itu untuk sementara bisa menangguk dukungan dari sebagian rakyat dan bagus untuk mendongkrak popularitas sang pengusul. Tetapi mudaratnya bagi kehidupan bertetangga dan kepentingan strategis negeri kita jauh lebih besar. Ketegasan dalam bersikap tidak sama dengan kecerobohan dan arogansi.
[***]
Simak tautan:
(Komnas HAM: Ini Ujian Nasionalisme, Jika Perlu Putus Diplomatik RI-Australia)
Penulis adalah pengamat politik President University. Tulisan diambil dari halaman facebooknya.