Berita

Derek Manangka/Net

Amerika & Rusia, Sama Berbahaya

SENIN, 02 JANUARI 2017 | 06:24 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

MENGIKUTI perkembangan Syria, yang hancur akibat campur tangan asing, sikap spontan yang muncul adalah jangan pernah percaya kepada tawaran bantuan asing!

Persoalan awal Syria, sebetulnya sederhana. Bisa dikatakan ada kemiripin dengan yang terjadi di Indonesia. Ada ketidakpuasan terhadap rezim yang berkuasa yaitu yang kemudian membentuk semacam blok oposisi.

Oposisi kemudian mendapat tawaran bantuan, dari luar negeri, bagaimana menumbangkan rezim yang berkuasa.  Dimulailah perang pernyataan, kemudian berujud dalam bentuk demo.

Adanya persoalan internal itu membuat Syria seperti sebuah pohon peternakan madu. Diundang ataupun tidak, pihak asing mau mengincer madu, menawarkan bantuan. Ada yang ke oposisi tapi ada juga yang ke pemerintah.

Dalam tragedi Syria, pihak asing yang sama-sama menjanjikan bisa membantu, mengatasi persoalan adalah Amerika Serikat dan Rusia.

Amerika berpromosi kepada kelompok oposisi bahwa pihaknya bisa membantu untuk menumbangkan pemerintahan yang berkuasa pimpinan Bashar Al-Assad.

Rusia, mengambil posisi berseberangan. Walaupun tujuannya sama - mengincar madu. Akan mempertahankan setiap jengkal tanah dan tumpah darah nenek moyang Bashar Al-Assad.

Amerika dan Rusia, memang benar mereka komited pada janji. Mereka memberikan bantuan persenjataan, alat tempur dan logistik serta pernik-pernik lainnya sebagai aksesoris untuk peperangan.

Jadilah Aleppo, kota kedua terbesar setelah Damaskus ibukota Syria, sebagai ajang perebutan pengaruh.

Semua taktik dan tipu daya ilmu perang militer dipraktekkan di kota itu.

Hasilnya sebuah malapetaka besar yang menimpa seluruh bangsa Syria. Pasukan Amerika memburu dan membunuh pasukan pro pemerintah. Sebaliknya pasukan Rusia mengejar dan mengeksekusi pasukan opisisi.

Di dua pihak jatuh korban. Kelompok opsisi maupun pro pemerintah.  Dua-duanya merupakan warga Syria. Mereka menjadi korban oleh peluru atai bantuan mesin pembunuh Amerika dan Rusia.

Ada perkiraan tidak kurang dari 400 ribu warga Syria yang tewas di dalam perang saudara yang dimulai tahun 2011 tersebut. Kalau angka ini benar, maka perkiraan sementara terdapat 0,001 persen warga Amerika atau Rusia yang cidera di sana.

Tidak ada laporan tewasnya tentara Amerika dan Rusia dalam tragedi Syria.

Akibat perang, warga Syria mengungsi. Paling banyak yang berjalan kaki ke Eropa.

Jika ada tiga juta pengungsi Syria yang terpaksa bereksodus dari negeri yang sarat dengan peradaban masa lalu, tak satupun dari para pengungsi itu yang ditawari Amerika maupun Rusia.

Sebab urusan pengungsi, tidak termasuk dalam pembicaraan dan janji pemberian bantuan.

Kalaupun ada, paling banter 0,001 persen dari total di atas. Tapi itupun harus melalui seleksi ketat dan berlapis.

Lalu dimana faktor manfaat dari janji membantu menyelesaikan masalah Syria?  Nonsens, omdo dan omko. Omong Doang dan Omong Kosong.

Oleh sebab itu bagi kita di Indonesia - sebelum terlambat, mari kita jadikan tragedi Syria sebagai sebuah pembelajaran yang sangat berarti.

Yang pasti dalam dunia yang sudah semakin ketat persaingan, ingat akan ungkapan populer dari Barat: There is no free lunch  "Tidak ada yang namanya makan siang gratis".

Maksudnya, ketika Amerika dan Rusia masing-masing berjanji membantu, apalagi janji itu disampaikan ketika lagi makan siang, nah disitulah jebakannya. Artinya, makan siang sih gratis. Mereka yang mentraktir yang membayarnya. Tetapi entar lagi, loe harus bayar dengan harga berlipat ganda.

Nah kematian 400 ribu warga Syria demikian pula bereksodusnya 3 juta warga merupakan tanggung jawab Syria sendiri.

Dengan kata lain, dengan menerima bantuan tadi, dari Amerika dan Rusia, persoalan Syria menjadi sangat rumit. Sebab menangani akibat dari bereksodusnya 3 juta jiwa bukan persoalan mudah. Begitu pula dengan yang diakibatkan oleh tewasnya ratusan ribu penduduk.

Sebenarnya kalau Amerika dan Rusia sebagai bangsa yang berbeda kulit dan DNA ingkar janji, tidak perlu dirisaukan. Atau masih bisa dipahami. Karena sifat manusia yang mau cari untung, kurang lebih sama perilakunya.

Perilaku Amerika dan Rusia mengingatkan kita bahwa pepatah kuno  "Memang Lidah Tak Bertulang", memang masih valid. Amerika dan Rusia kalau boleh disamakan dengan binatang buas dua-duanya berbahaya.

Tapi ada yang perlu diwaspadai lagi. Tolong jangan terkesima dengan kesamaan dalam agama.

Dari tragedi Syria bisa dilihat bahwa agama sebagai faktor penting dalam tolong menolong, tidak berlaku.

Semestinya, warga Islam khususnya negara Arab yang kaya raya, tanpa diminta bisa membantu Syria. Apalagi negara ini bertetangga dekat dengan Syria.

Tapi Tragedi Syria membuktikan, tak satupun negara Arab yang kaya raya bersedia membantu. Baik kesulitan yang dihadapi oleh Presiden Bashar Al-Assad, maupun rakyatnya yang memposisikan sebagai kelompok oposisi.

Lihatlah negara Arab kaya lainnya seperti Uni Emirat Arab dan Qatar.

Tidak usah dulu diulas negara kaya seperti Arab Saudi. Negara yang menjadi kaya raya semenjak minyak menjadi energi paling dibutuhkan manusia lebih dari 40 tahun lalu.

Cukup dua negara yang disebutkan terakhir: Uni Emirat Arab dan Qatar.

Saya punya saudara sepupu yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja pada keluarga Emir Abu Dhabi. Saking kayanya keluarga kerajaan Abu Dhabi ini, salah satu kegiatan rutinnya adalah melakukan liburan selama dua bulan di Afrika. Setiap tahun dan berpindah-pindah.

Untuk liburan tersebut, selain jumlah rombongan mencapai hampir seratus orang, pola liburannya seperti memindahkan kehidupan di Abu Dhabi ke sebuah pedesaan yang sepi dari pengunjung. Di sana mereka berburu atau menikmati alam yang tanpa padang pasir.

Tak bisa dihitung berapa banyak uang yang digunakan untuk liburan tersebut.

Tapi pernahkah kita mendengar adanya bantuan kemanusiaan dari Emirat ini ke Syria? Walaupun jumlah nya tidak harus sama besar dengan biaya liburan ke Afrika. Semoga pertanyaan ini keliru.

Saya tidak punya kontak di Dubai, salah satu kerajaan di negara yang sama.

Yang pasti penguasa Dubai juga tak kalah kaya dengan saudaranya yang memimpin Abu Dhabi.

Lalu bagaimana dengan Qatar. Kita juga tahu betapa kayanya negara yang hanya berpenduduk 225 ribu jiwa ini.

Faktanya, dalam rangka belanja bagi penyelenggaraan Piala Dunia 2022, Qatar membelanjakan dana sebesar USD 200 milyar. Atau sekitar Rp 2.000.000 triliun (Dua juta triliun - kurs tengah Rp. 10 ribu).  Bandingkan APBN kita yang cuma Rp. 2.000,- triliun.

Saya coba cari di mesin pencari data, tak ditemukan adanya bantuan dari negara ini ke Syria.

Padahal selain etnis Arab, Syria yang memerlukan bantuan, juga merupakan salah satu negara Islam di Timur Tengah.

Dalam rangka kesamaan agama itu, Syria juga ikut bergabung di Organisasi Kerjasana Islam (OKI) bersama Qatar. Organisasi ini sesuai semangat sejarah didirikannya, untuk saling membantu sesama negara Islam.

Informasi yang saya kumpulkan menyebutkan, ketiga negara Arab yang disinggung di atas, merupakan negara Islam yang sangat besar dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Apakah faktor ini yang menjadi penyebab mereka menghindar membantu pemerintah Syria?

Jadi, sekali lagi jangan pernah percaya pada faktor kesamaan dan persamaan.

Entah itu kesamaan dan persamaan agama, suku dan latar belakang silsilah, yang perlu dicamkan adalah sesama saudara, kakak beradik saja masih bisa berkelahi bahkan bisa bunuh-bunuhan.

Sebetulnya masih banyak yang bisa dikupas dari tragedi Syria. Tapi, karena mau libur untuk liburan akhir tahun maka pembahasan soal Syria saya batasi sampai pada bab ini.

Lagi pula kalangan pemerintah kita sendiri seperti tak peduli atau bungkem.

Aneh rasanya. Karena pada Maret 2016 lalu, Indonesia menjadi tuan rumah KTT OKI.

Apakah OKI atau Indonesia tidak tergerak membantu Syria? Atau faktor apakah yang membuat kita seperti tidak tertarik bicara soal Syria? [***]

Penulis adalah wartawan senior

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Tulisan 'Adili Jokowi' Curahan Ekspresi Bukan Vandalisme

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:36

Prabowo Harus Mintai Pertanggungjawaban Jokowi terkait IKN

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:26

Penerapan Dominus Litis Melemahkan Polri

Minggu, 09 Februari 2025 | 07:03

Rontok di Pengadilan, Kuasa Hukum Hasto Sebut KPK Hanya Daur Ulang Cerita Lama

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:40

Senator Daud Yordan Siap Naik Ring Lagi

Minggu, 09 Februari 2025 | 06:17

Penasihat Hukum Sekjen PDIP Bongkar Kesewenang-wenangan Penyidik KPK

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:53

Lewat Rumah Aspirasi, Legislator PSI Kota Tangerang Ajak Warga Sampaikan Unek-Unek

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:36

Ekonomi Daerah Berpotensi Merosot akibat Sri Mulyani Pangkas Dana TKD

Minggu, 09 Februari 2025 | 05:15

Saat yang Tepat Bagi Prabowo Fokus MBG dan Setop IKN

Minggu, 09 Februari 2025 | 04:57

7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat Menuju Indonesia Emas

Minggu, 09 Februari 2025 | 04:42

Selengkapnya