Bimo Sasongko dan B.J Habibie/Dok
Memasuki 2017 perlu totalitas menggalakkan program vokasional atau kejuruan yang berbasis apprentice untuk membangunkan nilai tambah lokal yang diibaratkan raksasa yang masih tertidur.
Begitu dikatakan pendiri resident Director & CEO Euro Management Indonesia, Bimo Sasongko dalam pers rilis, Jumat (30/12).
Bimo menguraikan, esensi nilai tambah lokal adalah berbagai usaha produksi atau jasa yang berlangsung di Tanah Air. Di mana proses pengolahannya menggunakan teknologi dan inovasi sehingga memiliki harga yang lebih tinggi atau berlipat ganda jika dibandingkan dengan harga bahan mentahnya. Di samping itu bisa memperluas lapangan kerja.
"Dengan prinsip nilai tambah yang
genuine, bangsa Indonesia tidak sudi lagi mengimpor bahan mentah tanpa diolah secara signifikan terlebih dahulu," jelasnya.
Program vokasional berbasis
apprentice adalah kunci suksesnya industrialisasi di negara maju. Indonesia juga pernah diterapkan sistem
apprentice untuk memenuhi kebutuhan SDM industri dalam durasi yang singkat.
"BUMN industri strategis, seperti industri pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia pernah mencetak puluhan ribu teknisi ahli yang direkrut dari lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan," ulas Bimo yang juga penggagas Program Beasiswa Gerakan Indonesia 2030.
Untuk diketahui,
apprenticeship dalam istilah bahasa Indonesia bisa disederhanakan artinya menjadi pemagangan.
Apprenticeship adalah bentuk unik dari pendidikan kerja, yang mengkombinasikan pelatihan di tempat kerja dengan pembelajaran berbasis di sekolah, terkait kompetensi dan proses kerja yang ditentukan secara khusus. Durasi
apprenticeship biasanya lebih dari satu tahun dan bahkan di beberapa negara berlangsung selama empat tahun.
Hemat dia, pemagangan berbasis
link and match sebaiknya menekankan prinsip desentralisasi. Ini, menurut Bimo, bisa sukses dengan catatan pemerintah daerah harus benar-benar siap secara teknis maupun kelembagaan.
Desentralisasi juga menjadi momentum untuk membenahi standardisasi sekolah menengah, terutama SMK agar terwujudnya
link and match dalam pembangunan nasional. Namun Bimo mengingatkan, standardisasi sekolah kejuruan sangat beragam dan tidak sama setiap daerah. Tergantung dari sumber daya lokal serta mengikuti perkembangan dunia industri dan transformasi teknologi.
Untuk mewujudkan link and match perlu sinergi antara ikatan sekolah kejuruan, dunia usaha/industri yang diwakili oleh Kadin serta praktisi atau ahli teknologi yang memiliki pengalaman tentang transformasi industri dan teknologi di negara maju.
"Konsep
link and match yang dirumuskan oleh Wardiman Djojonegoro yang pernah menjadi Mendikbud Kabinet Pembangunan VI, pada saat ini konsep tersebut masih relevan," tambahnya.
Penting juga menurut dia untuk diketahui, sistem pendidikan nasional sejak Indonesia merdeka hingga kini belum mampu memenuhi tuntutan dunia usaha dan industri.
[wid]