Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengembangkan kasus dugaan suap proyek alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016. Lembaga antirasuah juga akan berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI) terkait penanganan kasus tersebut.
Ketua KPK Agus Raharjo menjelaskan, sejauh ini pihaknya telah berkomumunikasi dengan POM TNI terkait indikasi keterlibatan oknum TNI. POM TNI, lanjut dia, mengapresiasi dan mendukung proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Bahkan, TNI berjanji membuka akses bagi KPK dalam penanganan kasus ini, termasuk memberikan pengamanan jika dibutuhkan untuk melakukan upaya paksa.
"TNI sampaikan apresiasi dan komitmen untuk memberikan akses ke KPK dan memberikan pengamanan kalau KPK melakukan upaya hukum paksa dan butuh pengamanan TNI," ujar Agus di Kantornya, jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (15/12).
KPK sendiri sebetulnya tak punya kewenangan untuk menangani oknum militer yang terlibat kasus korupsi. Untuk itu, jika dalam pengembangan kasus ini terdapat alat bukti yang cukup terkait keterlibatan oknum militer, KPK bakal menyerahkan penanganannya kepada Puspom TNI untuk ditindaklanjuti sesuai UU Militer.
Meski ditangani Puspom TNI, KPK meyakini proses hukum terhadap oknum militer ini akan berjalan baik.
"Perlu diketahui bahwa Pak Agus dan kami semua bekerja sama dengan TNI dengan lumayan akrab dan dengan baik," jelas Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dalam kesempatan yang sama.
Dia menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir mengenai keterbukaan informasi dalam proses hukum terhadap oknum TNI itu. Sebab, Mahkamah Militer pernah mengeluarkan vonis hukuman seumur hidup kepada Brigjen TNI, Teddy Hernayadi terkait kasus korupsi peralatan utama sistem pertahanan (alutsista) yang diduga merugikan keuangan negara hingga USD 12 juta.
"Kalau kita lihat putusan terakhir petinggi TNI yang dilakukan di Mahkamah Militer sudah cukup bagus dan KPK terlibat membantu Kementerian Pertahanan," demikian Syarif.
Sebelumnya, Eko bersama dengan dua pegawai PT MTI yakni Hardy Stefanus dan M Adami Okta dicokok tim satuan tugas KPK dalam Operasi Tangkap Tangan di dua lokasi di Jakarta, Rabu siang (14/12) kemarin.
Ketiganya diciduk lantaran kedapatan bertansaksi suap terkait proyek alat monitoring satelit 2016 senilai Rp200 miliar yang sumber pendanaannya melalui APBN-P 2016.
Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan Uang senilai Rp 2 miliar berbentuk Dolar Amerika dan Dolar Singapura. Uang tersebut ternyata pemberian pertama dari Rp15 miliar yang dijanjikan oleh Dirut PT Melati Technofo Indonesia (MTI), Fahmi Darmawansyah.
Fahmi diduga menjanjikan uang senilai Rp15 miliar kepada Eko jika PT MTI dapat memenangkan lelang proyek alat monitorinng satelit 2016 senilai Rp200 miliar yang sumber pendanaannya melalui APBN-P 2016. Jumlah yang dijanjikan tersebut merupakan 7,5 persen dari total nilai proyek.
Hingga saat ini, Fahmi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka masih dalam proses pencarian penyidik KPK. Selain mencokok Eko dan dua anak buah Fahmi, tim Satgas KPK mengamankan DSR di kantor PT MTI di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Hingga saat ini, DSR masih berstatus sebagai saksi dalam kasus tersebut.
Atas perbuatannya, Eko Susilo Hadi disangkakan melanggar pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Fahmi Dharmawansyah, Hardy Stefanus serta M. Adami Okta yang menjadi tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
[sam]