JELANG pukul 21:00 WIB, Sabtu 3 Desember 2016, nomor WA-ku berdering. Muncul gambar Teddy Setiawan, seorang WNI keturunan Tionghoa. Teddy meminta pendapat saya tentang "Aksi Kita Indonesia" yang digelar esok harinya.
Kami sudah saling kenal muka sejak tahun 1974. Tapi baru saling menyapa tahun 1986, setelah saya direkrut Surya Paloh sebagai Redaktur Pelaksana harian "Prioritas".
Teddy sendiri, putera kelahiran Padang, tapi lama merantau di Medan. Di kota itulah ia bertemu dan bersahabat dengan Surya Paloh.
Teddy yang lebih senior, merupakan sosok yang memiliki kepribadian cukup menarik. Dia seorang rekan berdiskusi untuk berbagai topik, apalagi soal ke-Indonesia-an. Gayanya yang suka ceplas-ceplos, membuat adrenalin kita yang suka keterus terangan dan keterbukaan, terpicu.
Teddy Setiawan tidak merasa punya beban sebagai warga negara Indonesia kelas dua apalagi yang dimarjinalkan. Dia tidak keberatan dengan istilah Cina untuk sebutan bagi etnisnya, sepanjang penyampaian tidak dimaksudkan untuk melecehkan.
Untuk ukuran rata-rata penbisnis orang Tionghoa, Teddy tidak masuk kelompok konglomerat. Dia bahkan baru mapan dalam 10 tahun terakhir ini.
Selama 30 tahun sebelum ini, bisnisnya banyak mengalami batu sandungan. Antara lain mungkin karena dia tidak mau berkompromi dengan penguasa.
Satu hal yang membuat dia punya rasa percaya diri yang tinggi, karena dia menjadi mapan tanpa memperoleh fasilitas dari pemerintah atau penguasa.
Dia menjadi mapan karena saat harga batu bara sedang bagus, dia berhasil menjual konsesi laha batubaranya kepada seorang taipan. Dari sana ia mendapat uang tunai yang lumayan besar.
Karena tanpa beban, tidak merasa berhutang budi kepada penguasa, Teddy juga tanpa beban mengeritik penguasa. Apalagi anggota penguasa yang tidak punya kepedulian dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Bicara nasionalisme, Teddy tidak merasa berada di bawah tingkat dari rata-rata warga Indonesia. Alasannya, dia juga ikut berjuang untuk menegakkan negara Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
Di tahun 1966, saat usianya yang masih cukup belia, Teddy bergabung dengan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). KAPPI kemudian dianggap yuniornya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang juga lahir di tahun yang sama.
KAMI kemudian dipersepsikan sebagai eksponen generasi muda yang berjasa dalam mencegah Indonesia menjadi sebuah negara komunis.
Tapi bagi Teddy ceriteranya tidak persis seperti itu.
Sebab menurutnya, justru KAPPI, ormas pertama yang menyatakan anti komunis dan konsisten minta supaya PKI (Partai Komunis Indonesia) dibubarkan.
PKI dianggap partai yang ketika itu sangat dekat dengan kekuasaan Presiden Soekarno.
Sementara KAMI sejak awal berjuang untuk menumbangkan Presiden Soekarno.
Namun agar perjuangan menumbangkan kekuasaan itu tidak dianggap makar, maka yang dijadikan topik adalah jargon yang sudah dipilih KAPI.
Perjuangan KAMI ada kesamaan dengan aksi yang muncul di tahun 2016.
Ada aksi yang berjuang untuk menjatuhkan Ahok Basuki Tjahaja Purnama. Tapi perjuangan itu kemudian ditunggangi oleh kekuatan lain. Target yang sebenarnya menumbangkan Presiden Joko Widodo. Tapi pada tahap awal menggunakan tema atau jargon jatuhkan Ahok.
Dalam kemasan lainnya, usaha menumbangkan pemerintahan Joko Widodo dilakukan dengan taktik berputar. Yaitu melalui desakan untuk dilaksanakan Sidang Istimewa MPRI-RI.
Tujuan SI MPR-RI dikatakan agar Indonesia kembali ke UUD 45 yang asli. Alasannya akibat digunakannya UUD 45 hasil Amandemen 2002, Indonesia terjebak dalam berbagai kegaduhan yang bisa berujung pada pecahnya NKRI.
Secara logika permintaan untuk kembali ke UUD 45 itu, sangat baik. Tapi jika permintaan itu dituruti, legitimasi Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla otomatis hilang. Mereka harus turun dari kekuasaan. Sebab mereka dipilih berdasarkan UUD 45 yang diamandemen tahun 2002.
Inilah cara makar secara konstitusional.
"Kalau menurut saya, Aksi Kita Indonesia sudah tidak diperlukan. Setelah Aksi Super Damai 212 yang benar-benar menyejukkan. Atau ibarat makanan, aksi itu telah membuat masyarakat kenyang. Jadi kalau masih diberi makanan baru, menurut saya Aksi Kita Indonesia 412 tersebut, selezat apapun, bagi yang sudah kenyang, tak akan tertarik lagi", jawab saya.
Di era Orde Baru, saat kekuasaan Presiden Soeharto sedang kuat-kuatnya, Teddy Setiawan termasuk yang tetap kritis dan tak pernah takut kepada siapapun. Ia sempat menggugat taipan Liem Sioe Liong alias Sudono Salim atau Om Liem.
Tindakannya saat itu cukup berani. Bahkan Surya Paloh yang ketika itu cukup dekat dengan puteranya Om Liem, Anthony Salim atau CEO Salim Grup Johannes Kotjo, hanya bisa geleng-geleng kepala. Tanda antara kagum dan khawatir kalau terjadi apa-apa pada Teddy Setiawan.
Soalnya yang Teddy perkarakan taipan atau konglomerat yang terkenal sangat diproteksi oleh Presiden Soeharto.
Yang diperkarakan Teddy Setiawan, kepemilikan tanah di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Teddy menuduh Salim Group telah menyerobot tanah miliknya dan otoritas ketika itu, pura-pura tidak tahu.
Yang dia paling sedihkan, ketika gugatannya itu masuk ke pengadilan, tak ada media, terutama yang berpengaruh yang mau memberitakan perkaranya.
Dia sempat mengadu ke Surya Paloh sambil minta saya sebagai anak buahnya SP, untuk melaksanakan perintah pengaduannya itu. Teddy minta agar sosialisasi perjuangannya itu diberitakan oleh surat kabar milik SP.
Dengan berat hati saya tolak, karena resikonya tidak kecil. Walaupun demikian dia tidak mendendam. Kami saling menghargai posisi masing-masing.
Percakapan telepon semalam berlangsung selama satu jam enam menit. Koh Teddy lebih banyak bertanya apa lagi alasan saya berpendapat bahwa Aksi Kita Indonesia†412 tidak diperlukan lagi.
"Siapa figur sentralnya?", saya balik bertanya.
"Kalau 212 khan jelas. Figur sentralnya adalah Habib Rizieq", tambah saya.
Teddy kemudian saya ajak untuk memahami hal-hal penting yang mengemuka pada aksi Super Damai di 2 Desember 2016.
Rizieq yang selama ini mengesankan menolak Pancasila, ketika berkhotbah berubah 180 derajat. Damainya aksi hari Jumat itu juga dibantu oleh beberapa ustadz menjelang doa-doa dan sholat.
Ada Opick, seorang pencipta lagu rohani Muslim, di mana Dialova salah satu ciptaannya dinyanyikan Once Mekel, penyanyi beragama Kristen yang bergabung dengan Band Grup Dewa.
Juga ada ustadz yang saya lupa namanya, tapi menjabat Wakil Sekjen MUI. Siraman-siraman Islami mereka, yang menyejukkan, kemudian disiarkan oleh TVOne, bagi saya sebagai seorang Nasrani, merasa diberi pemahaman yang benar tentang Islam yang damai.
Pada Jumat malam 2 Desember 2016 sekitar pukul 23:00, saya menyaksikan acara Suara Rakyat.
Pemahaman saya tentang Aksi Damai 212 semakin komprehensif, setelah mendengar dua nara sumber. Nama mereka tidak sempat saya catat. Yang pasti ada yang dikenal sebagai orang keduanya Habib Rizieq dari Gerakan Pembela Fatwa MUI dan seorangnya lagi Rektor Universitas Ibnu Chaldun.
Keduanya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden Joko Widodo, Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Teddy seperti tidak percaya apa yang saya ceritakan. Dia kemudian bertanya dari mana informasi itu semuanya saya peroleh.
"Dari TV One. Bukan Metro TV", ujar saya.
Karena percakapan sudah cukup lama, sudah kemana-mana, saya tutup percakapan kami dengan ucapan terima kasih.
Untuk menghormatinya sebagai senior dan kami berdua sama-sama bersahabat dengan Surya Paloh, saya minta perbedaan kami dalam cara pandang tentang Aksi Damai, tidak terganggu.
Kali ini, saya juga harus mengucapkan terima kasih kepada Habib Rizieq. "Sukron Habib Rizieq".
[***]Penulis adalah wartawan senior