Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menceritakan bagaimana perekonomian di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil lolos dari tekanan dan berhasil mempertahankan kepercayaan pelaku ekonomi.
Sri Mulyani memang pernah menjabat menteri kabinet bidang ekonomi di dua periode pemerintahan SBY hingga sebelumnya memutuskan hijrah ke World Bank di tahun 2010.
Ia bercerita, di awal menjabat Menteri Keuangan di tahun 2005, utang negara saat itu sangat tinggi. Ia mewarisi UU keuangan negara yang dihasilkan masa awal reformasi usai badai krisis moneter. Kemudian, ia memulai restrukturisasi dan reprofiling di tahun 2005, untuk mengawal UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara yang dibuat di tahun 2003.
"Berat sekali menjalankan UU itu. Mulai dari perencanaan hingga eksekusi. Bappenas, Menkeu, hingga ke daerah, berubah semua caranya. Kami menyusun neracanya, di zaman itu mulai menyusun neraca keuangan, income dan balance," ujar Sri di Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa ke Masa, di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu (30/11).
APBN disusun dengan rapi, agar serupa dengan
financing negara lain. Pemerintah mulai membangun neraca dan mengumpulkan ulang aset-aset negara agar keuangan menjadi sehat. Ia bercerita, dulunya gedung Istana Negara tidak bersertifikat. Gedung Kementerian Keuangan juga didapatkan dengan susah payah karena banyak "preman" yang berkeliaran sehingga perlu bantuan dari TNI untuk mengamankan.
"Gedung Istana itu dulu enggak ada sertifikatnya. Nanti cucunya Daendels minta lagi gimana?" seloroh Sri.
Hal-hal paling dasar dilakukan oleh pemerintah kala itu yakni merestrukturisasi aset. Aset-aset ditertibkan, dan penggunaannya dibuat legal. Di zaman itu harga minyak naik, APBN yang tidak kredibel dihadapi Presiden SBY. Persoalan-persoalan lainnya juga adalah fungsi delegasi ke daerah karena dimulainya Pilkada, yang menjadi persoalan baru bagi Indonesia.
"Pada saat saya jadi Menkeu, APBN goyang. Kita baru melakukan pilkada. Ini suatu sejarah yang luar biasa untuk republik ini," ungkap Sri.
Beban berat lainnya adalah pelaku ekonomi yang selalu tidak rasional dan khawatir akan keadaan APBN Indonesia. Pemerintah berupaya keras menenangkan para pelaku ekonomi dan meyakinkan bahwa ekonomi Indonesia akan kembali pada rel semula.
"Dalam situasi seperti itu, APBN selalu underpressure," imbuhnya.
Saat APBN sudah mulai kredibel, pemerintah kemudian sudah mulai bisa mengendalikan situasi. Ia mengakui, keuntungannya saat ini adalah sudah mulai banyak neraca yang dibuat, ada auditor independen, menjadi kemajuan dalam tata kelola keuangan.
Sri juga mengakui, APBN tidak pernah terlepas dari tekanan politik. Tapi ia mengingatkan, APBN selalu ditamengi dengan rambu-rambu yang harus diikuti. Indonesia pernah diterpa badai Tsunami di tahun 2004. Namun, pemerintah berhasil melewatinya dengan sukses, dan menjadi negara yang berhasil menangani akuntabilitas keuangan kala banyak bantuan yang masuk ke dalam negeri.
"Begitu ada bencana alam, menjadi lahan korupsi. Tsunami Aceh salah satu contoh, Indonesia bisa mengelola dengan baik, rekonstruksi dan akuntabilitas. Kita diuji dengan kondisi yang tidak bersahabat, mulai krisis ekonomi, national disaster, tapi kita bisa atur dengan baik," demikian Sri.
[ald]