Ancaman radikalisme sudah masuk ke dalam sendi-sendi dan seluruh strata kehidupan masyarakat. Siapapun dapat terpengaruh paham itu, khususnya anak-anak. Bahkan, yang dulunya takut dengan cicak, sekarang sudah bunuh orang.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius. Kemarin, Suhardi berkunjung ke dapur redaksi Rakyat Merdeka. Datang bersama sejumlah jajarannya, dia disambut Direktur Utama Margiono, Dewan Direksi Kiki Iswara, Pemimpin Umum Ratna Susilowati, Pemimpin Redaksi Riki Handayani dan beberapa awak redaksi. Diskusi berlangsung santai. Beberapa kali Suhardi melontarkan candaan untuk mencairkan suasana, meski yang tengah dibahas ancaman yang mengerikan bagi bangsa dan negara.
Suhardi membeberkan detail ancaman radikalisme melalui slide demi slide lewat power point. Disebutkannya, radikalisme sudah masuk ke dalam sendi-sendi dan seluruh strata kehidupan masyarakat. Siapapun dapat terpapar -dalam bahasa Suhardi-paham radikalisme. "Ada yang sebelum berangkat ke Suriah takut banget sama cicak. Setelah di sana, membunuh orang hal yang biasa saja," ungkap dia memberi contoh bahayanya doktrin kekerasan ini.
Menurut Suhardi, sebelumya, BNPT fokus kepada hard approach alias penindakan. Namun, pendekatan ini kurang efisien. Tidak menyentuh hulu masalah. Sekarang, pihaknya fokus kepada pencegahan. BNPT membentuk kelompok ahli yang semuanya profesor bidang terorisme, agama, hukum dan tata negara, sosiolog, psikolog serta hubungan internasional. "Kalau main di hilir dan gak sentuh hulunya. Gak beres-beres. Kita minta masukan kepada ahli-ahli ini. Kita juga bentuk task force terdiri berbagai kementerian dan lembaga," ujarnya.
Ada dua pencegahan yang sedang dilakukannya, pertama deradikalisasi untuk yang sudah terpapar ideologi ini. Kedua, kontra radikalisasi yang belum sama sekali. Menurutnya, ada 1.000-an teroris dengan rincian 800-an sudah dirilis dan 200-an masih di dalam tahanan. Nah, seribuan teroris ini tidak sendirian. Artinya, harus juga diamati keluarga, teman dan komunitas. "Misalnya ada 80 lebih anak-anak teroris ini yang sudah di Suriah. Kalau mereka pulang, nggak main kelereng dan layangan lagi. Kalau ini nggak disentuh akan lebih bahaya daripada orang tuanya," ungkapnya.
Program deradikalisasi sejauh ini relatif berhasil. Namun, ada kondisi sosial yang mempengaruhi. Eks teroris yang sudah keluar harus 'dijaga'. Sebab, beberapa ada yang ditolak keluarga dan dikucilkan oleh masyarakat. Saat pulang ke kampung, anak istri sudah tak ada, pekerjaan hilang, hopeless akhirnya kembali radikal.
Suhardi mengingatkan, saat ini sebagian besar generasi muda kita sudah terpapar paham radikalisme lewat situs-situs berbau radikal yang bertebaran di internet. Provokasi dan propaganda bertebaran lewat video, tulisan, poster dan sejenisnya yang mem-viral dan mudah merasuk ke generasi muda.
Video pelatihan peledakan bom, menjadi hacker, ajakan berjihad, tawaran menjadi supir tank yang digaji 12 juta per bulan, cara-cara masuk ke Suriah semua ada tutorialnya. "Usia SMA dan sederajat paling banyak sekali dicuci otak lewat media sosial. Mahasiswa juga cukup besar. Ada yang 11 tahun sudah langsung network sama Bahrun Naim. Sekarang sudah SMK, bisa bikin bom asap beracun. Kita treatmen terus anak ini," ungkap Alius. Bahkan, usia PAUD pun sudah terpapar paham radikal. "Ada anak PAUD dibawa ke mall, gak mau, jawabannya karena ini mall orang kafir. Ini berbahaya, anak umur nema tahun," ujarnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, BNPT mengaku tak bisa berjalan sendiri. Perlu kerjasama dan koordinasi dengan seluruh elemen masyarakat dan kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. ***