Komnas HAM telah menyelidiki peristiwa kekerasan di Sanggeng, Kota Manokwari Papua pada bulan Oktober silam. Alhasil, ditemukan ada kecenderungan aparat polisi di Papua Barat lebih melindungi warga pendatang. Hal inilah yang memicu protes warga setempat.
"Tindakan penegakan hukum di Papua yang cenderung berpihak pada warga pendatang, merupakan tindakan diskriminatif atas dasar sentimen terhadap orang Papua Melanesia atau Papua phobia," kata komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa, (22/11).
Lanjut Pigai, sentimen terhadap orang Papua Melanesia atau Papua phobia ini ternyata sudah berlangsung 50 tahun lamanya.
"Dalam kurun waktu 50 tahun tersebut, tidak pernah ditemukan adanya tindakan kekerasan aparat yang korbannya adalah warga pendatang," tegasnya.
Pigai menambahkan, penertiban dan penindakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian Papua Barat seharusnya dipilah dalam beberapa peristiwa. Pertama, diakuinya memang penikaman Vijai Pauspaus telah direspon oleh Kepolisian Resor (Polres) Manokwari dengan mendatangi TKP, akan tetapi tidak ada kepastian hukum untuk keluarga korban. Kejadian penembakan 26 Oktober 2016 lalu hingga menyebabkan 12 korban jiwa, juga menurut Pigai, patut diduga terjadi pelanggaran atas Protap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
"Dalam peristiwa kekerasan di Sanggen, Manokwari, Papua Barat pada 26 -27 Oktober 2016 terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijamin di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan di bidang hak asasi manusia," ucap Pigai.
Piga juga menyampaikan, terdapat pihak-pihak yang yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam peristiwa kekerasan di Sanggeng, yakni Kapolda Papua Barat, Komandan Brimob, Karoops Polda Papua Barat dan Kapolres Manokwari. Terakhir disebut karena pada saat peristiwa bertindak sebagai penanggung jawab wilayah di lapangan.
"Para komandan kepolisian diduga bertanggung jawab yang tidak melakukan pencegahan, bahkan melakukan pembiaran terhadap anak buahnya yang melakukan kekerasan dalam operasi, terutama pada 27 Oktober 2016," jelasnya.
Akibat kekerasan itu jatuhnya korban jiwa maupun yang luka-luka, termasuk masyarakat yang terlibat secara langsung dalam tindak penyerangan, pengrusakan dan pembakaran terhadap berbagai aset terutama pos polisi serta sepeda motor
.[wid]