Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan keprihatiÂnannya atas situasi Indonesia terkait peringatan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober. Sampai saat ini, kebiÂjakan impor pangan masih berlanjut dengan dalih untuk mengendalikan harga pangan. Bahkan impor pangan terus meningkat tajam.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih menuturkan, terkait impor beras, besaran impor sempat turun di tahun 2013, namun kembali naik sepanjang tahun berikutnya. "Hingga Juli 2016 saja, angka impor beras telah menembus 1,09 juta ton, melamÂpaui impor beras sepanjang 2015 sebesar 0,86 juta ton," ujarnya.
Selain beras, jumlah impor gandum terus meningkat. Dalam periode Januari hingga Juni 2016, angka impor gandum telah menembus 5,85 juta ton. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) bahkan memÂperkirakan impor gandum Indonesia tahun 2016 akan menÂcapai angka 8,10 juta ton.
"Dengan impor sebanyak itu, Indonesia merupakan importir gandum terbesar nomor dua di dunia setelah Mesir yakni 11,50 juta ton," ungkapnya.
SPImencatat, dibalik gencarÂnya upaya Kementerian Pertanian mendorong produksi pangan, jutaan petani malah meninggalÂkan profesinya. Dalam dua tahun terakhir jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian turun sebesar 2,54 juta orang atau 6,22 persen dari 40,83 juta pada Februari 2014 menjadi 38,29 juta orang pada Februari 2016.
Menurut Henry, berkurangnya jumlah petani tersebut disebabÂkan tiga faktor. Pertama, profesi petani tidak mampu dijadikan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga beralih ke profesi lain.
Kedua, petani terpaksa menÂinggalkan profesi petani dikarÂenakan tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk diusahakan, baik itu disebabkan pengusiran akibat konflik agraria maupun desakan ekonomi untuk menggadaikan atau menjual tanahnya.
Ketiga, buruh tani harus tersingkir akibat kebijakan meÂkanisasi pertanian yang gencar dilakukan oleh Kementerian Pertanian. "Ketiga faktor terseÂbut tersebut memiliki akar perÂmasalahan yang sama, yakni tidak adanya jaminan perlindunÂgan dari negara terhadap petani," tegasnya.
Henry menerangkan, minimÂnya perlindungan harga terhÂadap petani pangan, khususnya padi dapat dilihat dari kebijakan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Penetapan HPP selama ini diÂanggap tidak layak karena tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Akibatnya terdapat disparitas harga yang jauh antara HPP dan harga jual petani.
SPIjuga menyayangkan, langkah sejumlah kementerian berlomba-lomba menggembar gemborkan kedaulatan pangan, tanpa memahami makna sejatinya kedaulatan pangan. Pada akhirnya arah kebijakan yang diambil tak jauh dari aroma kepentingan modal dan pasar, hanya menyeÂmatkan kata 'kedaulatan pangan' yang telah dimanipulasi.
Menurutnya, sudah selayaknya pemerintah menegaskan kiblatÂnya dalam urusan kebijakan pangan, menghadap kepentingan pasar (neoliberal) atau kedaulaÂtan pangan yang sejati. "Jangan memanipulasi rakyat dengan slogan kedaulatan pangan, naÂmun arah yang dituju adalah sebaliknya," kritiknya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, tantangan Indonesia dalam urusan pangan akan semakin berat ke depannya. Salah satu indikatornya adalah tingginya angka impor dan deÂfisit perdagangan pangan.
"Sejak 2007 Indonesia mengaÂlami defisit perdagangan pangan. Impor pangan melejit lebih cepat daripada ekspor, sehingga defisit terus melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia kini menÂcapai 4,87 persen per tahun, dan tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi nasional," ujarnya di Jakarta.
Diungkapkannya, akibat tingÂginya permintaan konsumsi panÂgan di Indonesia, angka nilai impor Indonesia masih tinggi dan semakin meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya. ***