Berita

Syahganda Nainggolan/Net

Politik

Ahok, Trump Dan Salman Rusydi

JUMAT, 07 OKTOBER 2016 | 13:58 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

DONALD Trump, kandidat presiden Amerika saat ini, selalu mempersoalkan agama lawan-lawan politiknya. Baik ke sesama calon presiden partainya sendiri, Republik, maupun kepada Hillary Clinton. Misalnya dia meragukan agama Ted Cruz yang juga Evangelical seperti dirinya. "Just remember this," Trump said at the time. "In all fairness, to the best of my knowledge, not too many evangelicals come out of Cuba, OK?"

Dia juga menjelaskan kepada publik bahwa Romney berbeda dengannya, karena Romney seorang penganut Mormon. Begitu juga banyak ekploitasi perbedaan-perdagangan karena agama yang berbeda yang dieksploitasi Trump selama kampanye selama ini. Akhirnya Trump mengungguli kandidat republik lainnya untuk bertarung dengan Hillary Clinton, kandidat Partai Demokrat.

Namun, secara teliti, kita tidak pernah melihat bahwa Trump mengatakan agama lawan-lawan politiknya adalah agama sesat, tipu dan buruk lainnya. Trump hanya mengatakan bahwa agamanya Protestan Evangelical adalah ajaran yang dianut mayoritas rakyat Amerika dan dia ada disitu untuk mewakilinya.

Misalnya ketika Trump menyerang umat Islam dengan mengatakan akan menutup pintu Amerika bagi kedatangan imigran muslim, Trump sama sekali tidak menjelekkan Al-Quran atau ayat-ayat dalam Al-Quran. Umat Islam Amerika boleh sedih, tapi keyakinan mereka tidak diserang selama pemilu Amerika ini.

Di Jakarta, kita saat ini tersentak dengan penghinaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahok, kandidat Gubernur Pertahana. Dalam video yang disebar nitizen, Ahok mengatakan bahwa Al-Quran, surah Al-Maidah tentang keharusan memilih karena seiman adalah ayat tipu. Dia menegaskan kepada rakyat yang dikunjunginya bahwa "program yang dia canangkan akan tetap jalan meskipun rakyat itu tidak memilihnya". Soal tipu ini terkait pernyataannya "karena tidak memilih karena ditipu surah Al-Maidah".

Suasana sudah semakin tidak terkendali saat ini. Polisi sepertinya enggan memproses laporan masyarakat soal penistaan agama. Yusril Izha Mahendra mengeluarkan himbauan agar polisi memproses pengaduan masyarakat agar semuanya menjadi jelas. Ustad Arifin Ilham mengutuk Ahok. MUI mengutuk Ahok. Ormas-ormas Islam semua panas.

Kejelasan urusan penistaan agama ini hanya bisa terbukti jika polisi merespon dengan cepat persoalan ini. Jika tidak maka sebenarnya kita tidak akan pernah tahu kebenaran dan maksud tujuan Ahok mengatakan surat Al-Maidah itu surat tipu-menipu.

Jika kita merujuk pada negara "bapak demokrasi" yakni Amerika, maka sudah jelas kepiawaian Trump dalam memainkan isu agama tidak menjadi penistaan agama. Trump hanya menonjolkan kekristenan dirinya mewakili ikatan sosiologis bangsa mereka. Setidaknya rakyat Amerika sejauh ini mengapresiasi Trump, sehingga dia lolos mewakili Partai Republik dalam pertarungan capres Amerika.

Ahok dan Salman Rusdhi

Ayatollah Rohullah Khomeny pada tahun 1989 mengeluarkan fatwa bahwa Salman Rusdhi harus dibunuh dimanapun berada karena telah menghina Al-Quran. Salman menghina Al-Quran dalam bukunya "ayat ayat setan". Pemerintah Iran akan memberi hadiah bagi yang berhasil membunuh Rusdhi.

Peristiwa ini menggemparkan dunia, karena buku "ayat-ayat setan" diterbitkan di Inggris tahun1988 atas nama freedom. Sementara Khomeny adalah pemimpin Bangsa Iran. Namun, akhirnya sampai saat ini masalah agama menjadi persolan lintas negara. Banyak kekerasan kekerasan di dunia terjadi seperti bom, penembakan dan serangan serangan lain dilakukan atas nama agama, khususnya Islam.

Lalau mengapa Ahok mengekspresikan kebencian terhadap Al-Quran di negara yang mayoritas penduduknya Islam? Hal ini tentu perlu dicermati lebih lanjut. Pertama, apakah Ahok berada dalam kondisi panik dengan beberapa survei yang menunjukkan elaktibilitasnya terjun bebas? Kedua, apakah Ahok memang mengembangkan perlawanan terhadap isu mayoritas vs minoritas dengan skenario penyerangan terhadap Islam dengan harapan seluruh minoritas "blocking vote" di belakang dia? sebagai modal pasti suara dukungan? Atau ketiga, apakah ini hanya kekhilafan biasa manusia?

Dalam hal pertama, memamg kita melihat bahwa ada korelasi terjun bebasnya dukungan terhadap Ahok terkait sentimen agama dan ras. Namun, mencari alasan kepada kesalahan Islam dan orang-orang Islam adalah kesalahan besar. Bangsa ini belum sejauh Republik Islam Iran yang bisa mengeluarkan fatwa kepada Salman Rusdhi, keradikalannya. Di sini mayoritas Islam Jawa yang tepo seliro or tenggang rasa.

Orang-orang yang melawan Ahok pun selama setahun ini dalam proteksi wong cilik, diwakili secara utama oleh tokoh non muslim, seperti Rohaniawan Katolik Romo Sandyawan, tokoh masyarakat Tionghoa Jaya Suprana, Lien Siok Lan dan Lius Sungkarishma, pemuda Kristen Ferdinan Hutahaean, dan lain-lain. Bahkan tokoh pemuda Tiong Hoa, Zeng Wei Jan dan Wawat Kurniawan menuduh Ahok yang selalu memainkan "playing the victim", dalam isu rasial ini.

Sesungguhnya Ahok harus sadar bahwa beberapa menteri Jokowi ataupun kabinet sebelumnya yang berasal dari etnis Tionghoa maupun agama non muslim tidak menjadi isu bagi mayoritas umat Islam.

Jadi, seandainya Ahok panik dengan melorotnya elaktibilitasnya dalam berbagai survei, harus dicari cara-cara yang positif dalam merespon hal tersebut.

Kedua, jika Ahok melakukan strategi untuk memperkuat barisan kaum minoritas sebagai "blocking vote" untuknya, hal ini tentu akan lebih elegan jika Ahok mencontoh pikiran Max Weber, misalnya, yang mengetengahkan ajaran dia terhadap kemajuan sebuah bangsa. Bukan menjelekkan ayat suci sebuah agama.

Sebagai sebuah agama atau pun ras yang mewakili Ahok, jika dimunculkan keunggulan-keunggulan positifnya, nanti akan menyumbangkan banyaknya nilai-nilai positif bagi kita.

Ketiga, jika itu sebuah kekhilafan, tentu Ahok harus segera meminta maaf bagi ummat Islam. Jangan malah menjual kesombongannya sebagai penguasa yang penuh backing aparat.

Umat Islam Indonesia tentu berbeda dengan Islam Iran yang bisa mengeluarkan fatwa bunuh, seperti kasus Salman Rusdie. Tapi bukan berarti umat Islam Indonesia untuk menjaga kehormatannya tidak mengerti "harga sebuah peti mati". [***]

Penulias adalah Ketua Dewan Syariah Serikat Pekerja PPMI 98

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

KSST Yakin KPK Tindaklanjuti Laporan Dugaan Korupsi Libatkan Jampidsus

Jumat, 24 Januari 2025 | 13:47

UPDATE

HUT Ke-17 Partai Gerindra, Hergun: Momentum Refleksi dan Meneguhkan Semangat Berjuang Tiada Akhir

Senin, 03 Februari 2025 | 11:35

Rupiah hingga Mata Uang Asing Kompak ke Zona Merah, Trump Effect?

Senin, 03 Februari 2025 | 11:16

Kuba Kecam Langkah AS Perketat Blokade Ekonomi

Senin, 03 Februari 2025 | 11:07

Patwal Pejabat Bikin Gerah, Publik Desak Regulasi Diubah

Senin, 03 Februari 2025 | 10:58

Kebijakan Bahlil Larang Pengecer Jual Gas Melon Susahkan Konsumen dan Matikan UKM

Senin, 03 Februari 2025 | 10:44

Tentang Virus HMPV, Apa yang Disembunyikan Tiongkok dari WHO

Senin, 03 Februari 2025 | 10:42

Putus Rantai Penyebaran PMK, Seluruh Pasar Hewan di Rembang Ditutup Sementara

Senin, 03 Februari 2025 | 10:33

Harga Emas Antam Merosot, Satu Gram Jadi Segini

Senin, 03 Februari 2025 | 09:58

Santorini Yunani Diguncang 200 Gempa, Penduduk Diminta Jauhi Perairan

Senin, 03 Februari 2025 | 09:41

Kapolrestabes Semarang Bakal Proses Hukum Seorang Warga dan Dua Anggota Bila Terbukti Memeras

Senin, 03 Februari 2025 | 09:39

Selengkapnya