RMOL. Tim gabungan untuk menyelesaikan dugaan pelangaran HAM berat masa lalu terkait G30S/PKI sepakat bahwa penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini tidak melalui jalur yudisial. Alasannya, tidak ditemukan alat bukti yang cukup untuk melanjutkan kasus tersebut ke persidangan.
Tim itu terdiri atas unsur Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI/Polri, pakar hukum, dan perwakilan masyarakat.
Hal itu dikatakan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto usai Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Tahun 2016 di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
"Pembentukan tim ini diputusÂkan setelah pemerintah mengÂgelar diskusi yang panjang dan pembahasan dari berbagai pendekatan. Termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat terkait dugaan pelanggaran berat masa lalu dalam peristiwa G30S/PKI," kata Wiranto.
Namun, bekas panglima ABRI ini menjelaskan, setelah melakuÂkan konsultasi dan koordinasi (bedah kasus) antara penyelidik Komnas HAM dan penyidik Kejagung, pemerintah menemui hambatan yuridis, terutama yang menyangkut pemenuhan alat bukti yang cukup sesuai standar pembuktian sebagaimana diÂmaksud dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
"Untuk itu, guna menyelesaiÂkannya, penyelesaian masalah ini diarahkan melalui cara-cara non yudisial," ujarnya.
Penyelesaian dengan cara non yudisial, menurut dia, dilakukan dengan mempertimbangkan frasa, yakni, pertama, tidak ada nuansa salah-menyalahkan, kedua, tidak lagi menyulut keÂbencian atau dendam, ketiga, sikap atau keputusan pemerintah dibenarkan oleh hukum dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan.
"Keempat, tergambar kesungguhan pemerintah untuk menyelesaikan tragedi terseÂbut dengan sungguh-sungguh. Kelima, ajakan pemerintah untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai pembelajaran bagi Bangsa Indonesia agar di masa kini dan masa depan perisÂtiwa semacam itu tidak terulang lagi," terangnya.
Oleh karena itu, Wiranto mengatakan, meski tragedi G30/S-PKI dan peristiwa lainÂnya sebelum 1965 merupakan upaya politik makar terhadap negara, dan tindakan pemerintah saat itu bisa dibenarkan, pemerintah selanjutnya mengambil tiga sikap.
Pertama, bahwa pada 1965 dan tahun sebelumnya telah terjadi perbedaan secara ideologi politis yang berujung pada maÂkar, sehingga menimbulkan kemunduran dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia.
"Kedua, pemerintah merasa prihatin atas jatuhnya korban dalam peristiwa tahun 1965 dan secara bersungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut melalui proses non yudisial yang seadil-adilnya agar tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan," katanya.
Selanjutnya, ketiga, pemerintah mengajak dan memimpin seluruh bangsa Indonesia denÂgan mengedepankan ideologi Pancasila untuk bersama-sama merajut kerukunan bangsa agar peristiwa tersebut terulang lagi pada masa kini dan masa yang akan datang. ***